''MENGAPREASI dan Mengkaji Karakter Tokoh dan Nilai Budaya Pewayangan dalam Pagelaran Tradisi Lisan Wayang Cenk Blonk''. Itulah tajuk kegiatan yang digelar Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bali, NTB dan NTT serangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini. Kegiatan yang mendapat aspresiasi positif dari kalangan remaja dan masyarakat luas ini mengusung misi mulia. Melestarikan seni pewayangan sekaligus menyebarluaskan dan menanamkan nilai-nilai positif yang terkandung pada kesenian adiluhung warisan leluhur manusia Bali itu. Di saat generasi muda Bali mulai bimbang akan jati dirinya akibat dahsyatnya gempuran gelombang globalisasi yang cenderung mendewa-dewakan nikmat materi, keteladanan tokoh-tokoh pewayangan seperti Yudistira, Bima, Arjuna, Kresna, Rama dan kawan-kawan diharapkan mampu menyelamatkan mereka dari ''belantara'' ketersesatan. Mengapa harus wayang?
=====================================
Dihubungi Jumat (4/5) kemarin, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB dan NTT Drs. I Made Purna, M.Si. menegaskan pihaknya sengaja memilih wayang sebagai objek kajian lantaran kesenian satu ini sangat sarat dengan pesan-pesan moral yang bisa mencerahkan sikap mental kaum remaja. Dengan mengemasnya dalam bentuk lomba karya tulis, mereka jelas lebih tergerak untuk menggali nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita wayang untuk selanjutnya mereka implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari wayang ini, pihaknya berharap para remaja itu bisa mendapatkan sasuluh (pedoman-red) untuk menata masa depan dengan lebih baik dan lebih bertanggung jawab. "Kami berharap generasi muda kita tidak hanya memaknai seni pertunjukan wayang ini sebatas hiburan semata. Yang lebih penting lagi, mereka harus mampu menangkap filosofi yang terkandung dalam bangunan cerita wayang itu untuk selanjutnya mengimplementasikan nilai-nilai positif itu dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Media Efektif
Menurut Purna, penanaman nilai-nilai positif bagi pembentukan karakter anak bangsa sangat efektif melalui media wayang. Sebab, di dalam cerita pewayangan itu secara gamblang dijelaskan bahwa kebenaran itu pasti selalu menang. Sebaliknya, mereka yang mengembangkan sifat culas, iri, dengki dan beragam sifat negatif lainnya pasti jadi pecundang. "Dengan memperkenalkan cerita wayang kepada anak sejak usia dini, kita sebenarnya secara tidak langsung sudah mengajarkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang salah lewat tokoh-tokoh pewayangan itu. Secara tidak langsung menaburkan tuntunan hidup sehingga mereka tidak salah jalan dalam melakoni kehidupan ini," katanya bersemangat.
Purna menambahkan, seni pewayangan yang tumbuh berkembang di Bali umumnya mengangkat kitab Mahabharata dan Ramayana sebagai bangunan utama (lakon-red) pementasan. Dua karya sastra yang tetap evergreen sepanjang zaman. Isi dari kitab itu membuat orang tak habis-habisnya tercengang. Kedalaman filosofi dan ajaran humanisme nan sarat yang terkandung di dalamnya tak ubahnya bagaikan samudera luas yang tak pernah tuntas untuk diselami. Dari segi bobot isi cerita, ajaran-ajaran kebajikan yang tertuang pada kedua kitab itu senantiasa relevan dengan konteks zaman sampai kapan pun, senantiasa siap menghadapi zaman. "Karya sastra Mahabharata dan Ramayana bukan hanya milik orang India, juga bukan hanya milik mereka yang memeluk agama Hindu. Dia milik dunia karena apa yang tersaji di dalamnya sangat universal dan layak dijadikan sumber inspirasi bagi pembentukan karakter anak bangsa di belahan dunia mana pun," tegasnya.
Pada saat agama Hindu merasuki serat-serat kehidupan masyarakat Nusantara di masa lampau, katanya, mempelajari, memahami dan menghayati epos Mahabharata dan Ramayana merupakan suatu keharusan. Pasalnya, saat itu tidak semua umat Hindu mampu memahami isi Weda yang merupakan kitab sucinya. Makanya, sebelum mempelajari Weda mereka terlebih dahulu diperkenalkan dengan kedua epos itu sebagai "sari-sarinya" Weda. "Boleh jadi, alasan itu yang menyebabkan wayang kulit purwa tumbuh dengan amat subur di Jawa pada zaman Hindu lampau. Bahkan, ada pendapat yang lebih ekstrem bahwa membaca dan menghayati isi dari kitab Mahabharata dan Ramayana sama bobotnya dengan membaca Catur Weda sebagai kitab sucinya agama Hindu," katanya lagi.
Mulai Berjarak
Sayangnya, popularitas Mahabharata dan Ramayana di kalangan generasi muda Bali yang notabene mayoritas berstatus pemeluk Hindu mulai melemah. Mereka mulai merasa asing dan berjarak dengan tokoh-tokoh penabur kesejukan dan kebajikan semacam Yudistira, Kresna, Arjuna dan kawan-kawan. Harus diakui, generasi muda Bali saat ini lebih merasa dekat dengan Satria Baja Hitam, Superman dan sebagainya serta menjadikan tokoh-tokoh superhero film kartun itu sebagai tokoh panutan. Menggeser superhero Mahabharata dan Ramayana yang karismanya begitu melekat di hati para leluhur manusia Bali. "Dalam konteks ini, saya mengamati telah terjadi inkonsistensi nilai-nilai budaya dalam kehidupan generasi muda Bali. Tidak mustahil, unsur-unsur budaya yang pernah mapan dan sudah terbukti keandalannya dalam membentuk karakter manusia Bali yang tangguh dan adiluhung akan terkikis dan tersisih. Jika hal itu sampai terjadi, ini merupakan mimpi buruk bagi Bali karena generasi muda Bali bisa kehilangan jati diri. Sebelum mimpi buruk itu jadi kenyataan, segenap komponen masyarakat Bali harus punya komitmen melestarikan seni pewayangan itu dan menanamkan kembali kecintaan generasi muda Bali terhadap unsur-unsur budaya adiluhung para leluhurnya," katanya mengingatkan.
Pendapat senada juga dilontarkan I Wayan Nardayana yang lebih dikenal sebagai Dalang Cenk Blonk. Alumnus ISI Denpasar ini tidak menampik bahwa generasi muda Bali tidak lagi menjadikan tokoh-tokoh pewayangan seperti Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa sebagai suritauladan. "Anak-anak kita saat ini lebih mengenal tokoh-tokoh kartun seperti Satria Baja Hitam dan kawan-kawan yang belum tentu sesuai dengan kepribadian kita. Kesejatian kepribadian manusia Bali (Hindu-red) itu sebenarnya ada di pewayangan itu. Sesungguhnya wayang itu merupakan samudera luas yang harus terus-menerus diselami karena di dalamnya terkandung filsafat-filsafat agama yang akan menuntun kita menjalani kehidupan dengan lebih baik. Sayangnya, semua itu malah ditinggalkan," keluhnya.
Sebatas Wacana
Menurut Nardayana, sudah saatnya program "Wayang Masuk Sekolah" yang beberapa tahun lalu sempat diwacanakan direalisasikan. Tidak terus berkutat dalam tataran wacana semata. Dikatakan, keteladanan tokoh-tokoh pewayangan dari "aliran" kanan (tokoh protagonis/baik) itu sebenarnya bisa ditransformasikan ke dalam jiwa anak-anak dengan cara bercerita. "Saya pikir, cerita-cerita pewayangan itu perlu diberikan di bangku-bangku sekolah. Mulai tingkat SD, SMP dan SMA/SMK. Dia bisa disisipkan dalam mata pelajaran muatan lokal seperti bahasa Bali, agama dan pendidikan budi pekerti lainnya. Seperti embun, wacana itu langsung menguap begitu matahari pagi terbit di ufuk timur. Pembentukan karakter anak bangsa yang tangguh sangat penting dalam percaturan globalisasi ini. Mohon, program-program strategis seperti itu jangan diwacanakan saja tanpa ada action-nya sama sekali," katanya mengkritisi.
Guna lebih mendekatkan anak-anak dengan tokoh-tokoh panutan di dalam dunia pewayangan itu, katanya, ada baiknya tokoh-tokoh wayang dari aliran kanan seperti Panca Pandawa, Kresna atau pun Rama dipajang di dinding kelas. Tokoh-tokoh itu bisa disandingkan dengan foto-foto pahlawan bangsa maupun tokoh-tokoh nasional lainnya. Kehadiran tokoh-tokoh itu, boleh jadi akan mendatangkan memori dan energi positif bagi perkembangan kejiwaan anak-anak. "Jadi, idola anak-anak itu tidak hanya Doraemon, Sinchan dan tokoh-tokoh kartun lainnya yang karakter dan kepribadian belum tentu sesuai dengan budaya Bali. Semestinya tokoh-tokoh pewayangan itu jauh lebih layak dijadikan idola karena keluhuran budi pekertinya memang sudah teruji. Ketokohan wayang bisa dijadikan sumber inspirasi untuk membentuk sikap mental yang positif bagi anak-anak," tegasnya. * w. sumatika
sumber : http://www.balipost.co.id/
0 komentar:
Posting Komentar