Penari kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, ini menjelaskan, latar belakang penamaan tarian ini lantaran berkaitan dengan hal misterius. Penonton yang melihatnya menari kerap melihat ada sosok lain dalam tubuhnya. "Seorang istri teman saya melihat sosok perempuan cantik masuk ke dalam diri saya saat menari," ujar Didik kepada Anang Zakaria dari Tempo di kediamannya, di daerah Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu lalu.
Kehadiran sosok lain dalam tubuhnya saat menari inilah yang membuat para penonton terpikat. Apalagi, saat menari, pria kemayu berusia 56 tahun ini juga menyertakan gerakan komedi yang seolah mengajak penonton berdialog dengannya. Tak mengherankan jika undangan menari di luar negeri kerap menghampirinya.
Selama hampir dua jam, ia meladeni pertanyaan sambil mengepak baju lantaran esok harinya ia harus terbang ke Austria selama dua pekan. "Sebenarnya besok itu cuma untuk meeting," kata Didik. Pertemuan itu untuk mempersiapkan pementasan para koreografer dunia, tahun depan.
Bagaimana awalnya Anda bisa mendapat undangan ke Amerika kali ini? Ceritanya, pada 2009 saya pentas di Bali. Di sana saya membawakan Srikandini dan berkolaborasi dengan penari India. Pas pertunjukan itu, saya dikenalkan kepada Ed Decker. Ed melihat pertunjukan saya dan kemudian deal mengundang saya pentas di New Conservatory Theatre, San Francisco. Orang asing planning-nya matang, ketemunya 2009 dan realisasinya baru 2011.
Apa saja yang Anda lakukan selama di Amerika? Di sana saya membawakan empat tarian. Itu yang disebut Mystical Gender. Di antaranya tarian tradisional yang klasik banget. Namanya Beskalan Putri (Malangan). Adapun yang tiga adalah karya koreografi saya sendiri: Pancasari, Dewisara Sudah Gandrung, dan Jepindo Bali Topeng Walangkekek.
Apa maksud Mystical Gender itu?
Disebut Mystical Gender karena berkaitan dengan hal yang misterius. Cross-gender (tarian perempuan yang dibawakan seorang lelaki) bisa disebut mystic gender karena berkaitan dengan hal yang misterius. Di Makassar ada Bissu. Dia itu juga cross-gender yang disebut transgender. Sebagai pendamping raja. Kalau ada message (pesan) dari "atas" kepada raja, itu melewati dia.
Anda mengalami pengalaman mistik selama menari?
Sebenarnya yang melihat (mengalami) adalah penonton. Saat menari, saya dalam kondisi trance (kerasukan roh). Setelah pementasan, mereka ada yang cerita kepada saya.
Ada contoh soal itu?
Seperti Beskalan Putri itu. Seorang istri teman saya melihat saya menari tarian itu. Setelah pementasan, dia bercerita melihat sosok perempuan cantik masuk ke dalam diri saya saat menari. Saat menari, saya memang trance tapi tidak kesurupan. Selain itu, di tempat menari itu saya juga tidak melihat sosok lain di atas panggung. Beberapa bulan kemudian, temanku itu mengantar istrinya melihat saya menari dan dia ingin belajar menari. Saya ajak mereka ke Malang. Di tempat itu, terpampang foto guru saya (sudah meninggal). Melihat foto tersebut, istri teman saya itu teringat, yang merasuki saya saat menari waktu itu adalah perempuan dalam foto tersebut.
Pernah mengalami kejadian mistik selama menari di luar negeri?
Di Jepang pernah. Sekitar tahun 2000-an. Saya diminta menari Amaterasu oleh seorang teman asal Jepang. Amaterasu itu adalah Dewi Matahari. Pementasan dilakukan di sebuah tempat pertandingan sumo. Sebelum pementasan, seperti kebiasaan orang-orang Jepang umumnya, mereka berdoa di sebuah kuil kuno.
Saya pun ikut berdoa. Bagi saya, ikut berdoa di kuil itu seperti tamu yang memohon izin masuk ke rumah orang. Kulonuwun. Setelah pementasan, seorang wanita Jepang berpakaian kimono datang. Bagi orang Jepang, datang ke sebuah pementasan kesenian dengan berkimono adalah sebuah penghargaan atas kesenian itu sendiri. Dia mengatakan sampai merinding saat melihat saya menari Amaterasu. Katanya, dari tubuh saya keluar cahaya saat menari. Antara percaya dan tidak, tapi saya yakin dia tak sedang bercanda. Matanya berkaca-kaca saat bercerita. Jelas bukan basa-basi. Apalagi kami tak saling kenal sebelumnya.
Di Amerika, Anda menari berapa lama? Dan siapa yang membantu?
Itu solo performance, sekitar satu jam. Di sana saya punya teman namanya Paul Amron (Paul Amron Yuwono), lulusan sebuah sekolah teater di San Francisco. Bisa dibilang dia manajer saya di Amerika. Dalam pementasan, dia menjadi MC (master of ceremony) yang berkarakter. Dia memakai topeng Bali dan menjadi bagian dari pertunjukan.
Selain menari, apa ada agenda lain?
Siang hari, saya mengisi workshop (sebagai pembicara) di Asian Art Museum di San Francisco. Di sana saya juga mementaskan tarian. Satu tari saja, untuk menarik minat penonton ke pertunjukan pada malam harinya. Karena pertunjukan tari itu pas Minggu (24 April). Selain ke San Francisco, saya ke Seattle diundang teman, namanya Jarrad Powell (penata artistik). Dari Seattle saya ke Los Angeles memenuhi undangan (menari) dari konsulat (Indonesia) dan komunitas orang Jawa di LA. Di situ saya berkolaborasi dengan kelompok seni mereka yang punya dagelan. Namanya Lenong Petir. Saya pentas di sana, sampai mereka tidak mau bubar.
Ini pertunjukan Anda yang keberapa kali di Amerika?
Mungkin lebih dari empat kali (ia terdiam dan mengingat-ingat). Saya pernah ke Boston, Washington, San Francisco, dan Seattle. Sekitar enam kali. Sejauh yang saya amati, tiap event (yang dihadiri) selalu berbeda. Pada 2005 saya diundang sebagai artis residence selama satu bulan. Itu penghargaan yang luar biasa bagi saya. Biasanya untuk diterima menjadi artis residence harus mengajukan lamaran. Tapi saya diundang.
Kabarnya pertunjukan Anda selalu fully booked di Amerika? Apa yang membuat mereka tertarik?
Kadang-kadang tidak juga. Semua tergantung manajemen. Tapi pada umumnya memang begitu. Kenapa digemari? Salah satunya karena kesenian Indonesia kan unik. Tidak dijumpai di negara lain.
Tarian apa yang paling mereka sukai?
Tarian yang saya menari dari belakang. Rata-rata di mana-mana, saat saya mementaskan tarian itu, orang selalu tertarik. Menari di mana-mana saja, selalu (itu yang) jadi bahan omongan.
Bagaimana kemajuan dunia tari kontemporer di Amerika?
Saya susah kalau harus menilai karena harus akurat. Dalam arti, perlu survei. Saya takut salah. Tapi, kalau sepintas saja, Amerika itu kan negara maju, secara ekonomi mereka sudah mapan dibanding kita. Jadi penghargaan seni mereka itu luar biasa. Karena ada dana yang disisihkan untuk menikmati itu.
Memang bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, sebenarnya orang juga sangat menghargai seni. Coba saja lihat saat ada pertunjukan yang free (gratis). Ribuan penonton datang. Cuma, kalau dikaitkan dengan masalah finansial, jadi terbatas.
Tari Bali, Jawa, dan Sunda banyak dikenal dan dipelajari orang asing. Bagaimana dengan tarian daerah lain? Di sana banyak sekali kelompok gamelan. Pemainnya orang sana. Tak hanya gamelannya, bahkan tariannya. Orang sana profesional sekali. Yang saya lihat di Amerika memang tidak hanya gamelan Jawa dan Bali, saya lihat juga Jawa Barat. Tapi sebenarnya tarian Sumatera juga populer. Ada, tapi tak seheboh Jawa dan Bali. Bali dan Jawa itu merajai dunia.
Kenapa Anda selalu memilih karakter perempuan saat menari?
Karena saya lebih menguasai tarian putri. Dan, ketika saya belajar, ternyata bisanya menari putri. Saya bisa baik sekali membawakan tarian putri dibanding tarian gagah. Kalau kita menari, kita kan harus menjiwai juga. Jadi saya berfokus di situ. Saya riset, ternyata penari lelaki yang menari perempuan itu sudah ada sejak dulu. Dan bukan hal yang aneh. Tapi menjadi aneh saat memulainya lagi. Karena sudah lama tidak ada lagi.
Apa benar asuhan nenek saat kecil yang mendorong Anda seperti itu? Diajari menjahit, menyulam?
Benar (tersenyum). Dari kecil saya dekat sekali dengan Nenek. Karena satu-satunya cucu laki-laki. Adik saya perempuan. Saya pun terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan perempuan. Atau mungkin bawaan lahir saya, saya tidak tahu.
Selain menari dan mengajar, apa kesibukan Anda sehari-hari?
Biasa, di kantor. Di kawasan Godean, Yogyakarta. Dari pagi sampai sore di kantor. Yang saya lakukan biasanya Internetan, mendengarkan musik. Itu penting juga untuk membuat koreografi.
Musik dan penyanyi favorit Anda siapa? Penyanyi favorit saya, ya, Mbak Waljinah dengan Walangkekek-nya. Sampai-sampai salah satu karya saya memakai gending Walangkekek.
Masih suka ngamen di Malioboro? Oh iya, cuma sekarang masalah saya adalah waktu. Saya lebih banyak keluar. Saya biasa di depan Gedung Agung itu. Di situ tidak ada tempat fasilitas publiknya (terlalu padat). Saya ini berasal dari rakyat jelata. Rakyat kebanyakan. Saya rindu ngamen di Malioboro. Rindu dengan kepolosan orang-orang pasar yang kadang mencubit saya.
Di Amerika, Anda menari berapa lama? Dan siapa yang membantu?
Itu solo performance, sekitar satu jam. Di sana saya punya teman namanya Paul Amron (Paul Amron Yuwono), lulusan sebuah sekolah teater di San Francisco. Bisa dibilang dia manajer saya di Amerika. Dalam pementasan, dia menjadi MC (master of ceremony) yang berkarakter. Dia memakai topeng Bali dan menjadi bagian dari pertunjukan.
Selain menari, apa ada agenda lain?
Siang hari, saya mengisi workshop (sebagai pembicara) di Asian Art Museum di San Francisco. Di sana saya juga mementaskan tarian. Satu tari saja, untuk menarik minat penonton ke pertunjukan pada malam harinya. Karena pertunjukan tari itu pas Minggu (24 April). Selain ke San Francisco, saya ke Seattle diundang teman, namanya Jarrad Powell (penata artistik). Dari Seattle saya ke Los Angeles memenuhi undangan (menari) dari konsulat (Indonesia) dan komunitas orang Jawa di LA. Di situ saya berkolaborasi dengan kelompok seni mereka yang punya dagelan. Namanya Lenong Petir. Saya pentas di sana, sampai mereka tidak mau bubar.
Ini pertunjukan Anda yang keberapa kali di Amerika?
Mungkin lebih dari empat kali (ia terdiam dan mengingat-ingat). Saya pernah ke Boston, Washington, San Francisco, dan Seattle. Sekitar enam kali. Sejauh yang saya amati, tiap event (yang dihadiri) selalu berbeda. Pada 2005 saya diundang sebagai artis residence selama satu bulan. Itu penghargaan yang luar biasa bagi saya. Biasanya untuk diterima menjadi artis residence harus mengajukan lamaran. Tapi saya diundang.
Kabarnya pertunjukan Anda selalu fully booked di Amerika? Apa yang membuat mereka tertarik?
Kadang-kadang tidak juga. Semua tergantung manajemen. Tapi pada umumnya memang begitu. Kenapa digemari? Salah satunya karena kesenian Indonesia kan unik. Tidak dijumpai di negara lain.
Tarian apa yang paling mereka sukai?
Tarian yang saya menari dari belakang. Rata-rata di mana-mana, saat saya mementaskan tarian itu, orang selalu tertarik. Menari di mana-mana saja, selalu (itu yang) jadi bahan omongan.
Bagaimana kemajuan dunia tari kontemporer di Amerika?
Saya susah kalau harus menilai karena harus akurat. Dalam arti, perlu survei. Saya takut salah. Tapi, kalau sepintas saja, Amerika itu kan negara maju, secara ekonomi mereka sudah mapan dibanding kita. Jadi penghargaan seni mereka itu luar biasa. Karena ada dana yang disisihkan untuk menikmati itu.
Memang bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, sebenarnya orang juga sangat menghargai seni. Coba saja lihat saat ada pertunjukan yang free (gratis). Ribuan penonton datang. Cuma, kalau dikaitkan dengan masalah finansial, jadi terbatas.
Tari Bali, Jawa, dan Sunda banyak dikenal dan dipelajari orang asing. Bagaimana dengan tarian daerah lain? Di sana banyak sekali kelompok gamelan. Pemainnya orang sana. Tak hanya gamelannya, bahkan tariannya. Orang sana profesional sekali. Yang saya lihat di Amerika memang tidak hanya gamelan Jawa dan Bali, saya lihat juga Jawa Barat. Tapi sebenarnya tarian Sumatera juga populer. Ada, tapi tak seheboh Jawa dan Bali. Bali dan Jawa itu merajai dunia.
Kenapa Anda selalu memilih karakter perempuan saat menari?
Karena saya lebih menguasai tarian putri. Dan, ketika saya belajar, ternyata bisanya menari putri. Saya bisa baik sekali membawakan tarian putri dibanding tarian gagah. Kalau kita menari, kita kan harus menjiwai juga. Jadi saya berfokus di situ. Saya riset, ternyata penari lelaki yang menari perempuan itu sudah ada sejak dulu. Dan bukan hal yang aneh. Tapi menjadi aneh saat memulainya lagi. Karena sudah lama tidak ada lagi.
Apa benar asuhan nenek saat kecil yang mendorong Anda seperti itu? Diajari menjahit, menyulam?
Benar (tersenyum). Dari kecil saya dekat sekali dengan Nenek. Karena satu-satunya cucu laki-laki. Adik saya perempuan. Saya pun terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan perempuan. Atau mungkin bawaan lahir saya, saya tidak tahu.
Selain menari dan mengajar, apa kesibukan Anda sehari-hari?
Biasa, di kantor. Di kawasan Godean, Yogyakarta. Dari pagi sampai sore di kantor. Yang saya lakukan biasanya Internetan, mendengarkan musik. Itu penting juga untuk membuat koreografi.
Musik dan penyanyi favorit Anda siapa? Penyanyi favorit saya, ya, Mbak Waljinah dengan Walangkekek-nya. Sampai-sampai salah satu karya saya memakai gending Walangkekek.
Masih suka ngamen di Malioboro? Oh iya, cuma sekarang masalah saya adalah waktu. Saya lebih banyak keluar. Saya biasa di depan Gedung Agung itu. Di situ tidak ada tempat fasilitas publiknya (terlalu padat). Saya ini berasal dari rakyat jelata. Rakyat kebanyakan. Saya rindu ngamen di Malioboro. Rindu dengan kepolosan orang-orang pasar yang kadang mencubit saya.
sumber : http://www.tempo.co/
0 komentar:
Posting Komentar