Sungguh Tuhan
benar-benar telah bermurah hati terhadap serial makhlukNya. Be tapa tidak, Dia menciptakan
segala yang ada dengan kelebihan lengkap pula dengan kekurangan yang ia miliki.
Menganugerahkan kasih abadi yang take akan pernah habis, hingga membuat pijakan
until ciptaannya pada tempat yang sangat prestisius, bernama Alam semesta.
Berbicara mengenai
kemurahan hati, Tuhan memang sangat adil. Menciptakan setiap makhluknya dengan seribu
satu kelebihan Dan satu kekurangan. Cintanya pun tak akan per ah surut, laksana
Sumber mata air di atas hulu pegunungan -walaupun kemarau me landa sekali pun-
Dan Kay tahu,
hingga kini sepanjang hidupku aku masih belum menjumpai dimanakah Than mendapatkan
CintaNya tersebut. Setiap toko yang kutemui selalu tidak menjual menu yang disebut
dengan 'Kasih Tuhan' ITU. Ah tidak..!!! Mungkin saja Tuhan tidak harus
membelinya. Bisa jadi Dia memproduksi sendiri kasihNya tersebut. Hingga kelak di
esok Hari pun kasihNya ITU tak akan pernah surut.
Aku adalah seekor
hewan insekta. Ya tentu saja aku memiliki tiga pasang kaki, sepasang sayap dan
sepasang antena sebagai aksesorisnya. Aku juga memiliki dua buah mata yang
berukuran raksasa, sangat besar bahkan jika dibandingkan dengan sejenisku.
Oh iya, aku
pun senang sekali hinggap di daerahmu. Namun tepat di daerah yang begitu kau
senangi, sehingga kawan sebayamu dapat membunuhmu begitu saja. Semuanya, tanpa
sisa. Hanya dengan menepuk tangan, hancurlah sudah badanku terlumatkan olehnya.
Aku mati
dalam keadaan yang begitu tragis. Miris memang, terbujur kaku dalam keadaan
kepala yang gepeng, isi perut terburai, badan tak berbentuk, dan berbagai macam
lainnya yang tidak dapat aku ungkapkan lagi. Tak hanya itu,setelahnya kamu pun
biasanya langsung menempelkanku begitu saja di atas dinding rumahmu. Sehingga
jasadku pun. Meninggalkan jejak bekas coklat kehitaman, karena darah dari sisa
tubuhku yang telah mengering.
Sebegitu
hinanya kah aku dimatamu ??? Hingga dengan sangat keji kau membantaiku tanpa
ampun. Bahkan di restoran sekali pun, aku masih disebut-sebut sebagai hewan
yang sangat menjijikan. Tempat yang diberi rahmat oleh Tuhan sebagai daerah isi
ulang energi bersubsidi ternyata hanya labelnya belaka. Karena bagi kami, tempat
itu adalah ladang kematian.
Kami mati
dengan berbagai cara. Mulai dari dipukul, diceples, ditabok dengan alat bantu,
hingga mati dalam keadaan mengering pada sebuah perangkap. Manusia begitu cerdas.
Menciptakan benda-benda aneh yang dapat membantu mereka, katanya. Mereka
menciptakan benda baru agar aku tak lagi mengganggu. Benda berukuran besar itu
sangat terang dengan sinar ultravioletnya. Tentu saja benda itu sangat menarik
bagi kami. Berduyun-duyun kami datang, ingin mengetahui apakah gerangan yang putih
berkilau itu. Dan di saat kami mendekat, alangkah terkejutnya kami. Tatkala benda
itu semakin kuat menarik, semakin terang pula cahayanya. Menusuk tajam ke bola
mata kami dan membuat kami tidak berdaya karenanya. Alhasil, kami pun pingsan.
Belum lagi kami siuman. Tubuh kami telah keras, mengering dengan sendirinya lantaran
cahayanya yang sangat terang itu.
Sungguh biadap
manusia itu. Tega-teganya membunuh kami yang hanya ingin mencari makan, barang
sesuap dua suap saja. Entah kata apalagi yang akan aku berikan kepada mereka. Umpatan
kah ??? Cacian kah ??? Atau makian ??? Astaghfirullah...!!! Aku tidak seharusnya
berkata demikian, karena pada dasarnya kita adalah sesama makhluk Tuhan. Tak
sepantasnya kami mengucapkan hal kotor yang dilarang oleh Allah SWT tersebut.
Kita sesama
ciptaanya yang dianugerahkan dengan kemampuan untuk berlindung. Bersdaptasi digunakan
agar kami dapat bertahan hidup supaya kelestarian keturunan kita dapat terjaga
-tidak punah-. Maka seharusnya aku juga tidak menyahkan mereka begitu saja.
Mereka melakukan tersebut pasti memiliki alasan juga. Mungkin mereka juga tidak
berniat untuk membunuh kelompok kami. Mereka hanya ingin menjaga diri merema
saja. Oleh karenanya jangan juga menyalahlan kamu kami yang hanya ingin mendapatkan
tambahan nutrisi dari makanan yang ada. Namun ya beginilah cara kami. Kami ingin
jangan anggap kami ini sebagai hewan yang hina. Kami hanya hinggap pada
benda-benda yang menarik menurut insting kami sebagai kaum insekta. Ya, tidak
seperti manusia yang dikaruniani akal dan pikiran sebagai khalifah di muka bumi
ini. Maka kami pun hanya diberikan insting oleh Tuhan agar terlihat serupa dengan
manusia -walaupun sebenarnya tidak-
Sobat,
tentunya kau sudah tahu bukan siapakah aku ??? Aku adalah seekor lalat. Hewan
yang sering dianggap oleh anak kecil yang serupa dengan nyamuk itu. Ya, juga
hewan yang sering dianggap sebelah mata oleh sebagian orang. Hewan yang selalu
kau anggap sebagai racun, dan hewan yang sering kau gunakan pula sebagai detektor
penanda tempat kumuh dan kotor.
Menurut ilmu
Klenik dalam ritual Jawa, aku merupakan salah satu hewan yang cukup
disakralkan. Mereka percaya bahwa lalat sepertiku tak selamanya dapat membawa
bibit penyakit. Kau tahu bahwa aku bahwa aku memiliki enam buah kaki. Tiga kaki
di sebelah kiriku boleh jadi memang membawa bibit penyakit, namun jangan pernah
meragukan bagian kaki sebelah kananku. Ketiga kaki sebelah kananku ini membawa
madu-madu yang konon sebagai penawar bibit penyakitku sendiri tadi. Jadi mau
dimana pun aku hinggap, aku (mungkin) tidak akan membawa racun. Karena aku juga
membawa penawarnya. Mungkin juga ini yang membuat Chrisye menjadi terinspirasi
untuk membuat lagunya yang berjudul 'Madu dan Racun'. Ah, ada-ada saja...
Sekarang
izinkan aku bercerita tentang kisahku. Sebagai seekor lalat, tentunya aku
terlahir sebagai hewan yang lincah. Yang senang terbang kian kemari, hinggap
sana hinggap sini. Mulai dari tempat
terindah seperti kelopak bunga, sekelompok makanan yang nikmat , hingga tong
sampah yang busuk baunya pun dapat aku sambangi. Dansekali lagi, aku pun tak
tahu bedanya. Karena aku hanya mengikuti keinginanku saja. Hanya mengikuti
insting hewani alamiah ini.
Aku begitu
senang jika aku hinggap di kelopak bunga yang sedang bermekaran. Warna
mahkotanya begitu mencolok, seperti ia ingin memamerkan keunggulan di atas
segalanya. Agar kami -para serangga- dapat tertarik untuk mendekatinya. Dan
benar saja, aku pun serasa terhipnotis akan magisnya pesona warna cinta itu.
Hmmm, sungguh nikmat rasa serbuk sari yang ia hasilkan. Dapat aku lahap habis
hanya dalam waktu sekejab sajaa. Hhaha..!! Lihatlah mukaku ini, sudah mulai cemong
sana-sini dipenuhi dengan butiran kuning yang legit dan manis itu. Hmmmm...
"Terima
kasih, bunga. Serbuk sarimu ini sangat nikmat"
"Benarkah
itu, lalat"
"Sungguh,
bunga. Aku tidak berbohong"
"Jika
kau suka, kau boleh ke sini setiap hari jika kau mau"
"Apa
??? Setiap hari ???"
"Ya,
setiap hari aku akan memproduksi serbuk sariku itu. Bagaimana ??? Kau mau bukan?"
"Boleh
kah ??? Apakah kau tidak keberatan ??? "
"Tentu
saja tidak, lalat. Aku akan sangat senang jika kau setiap hari dapat ke
sini."
"Baiklah,
aku akan ke sini setiap hari jika aku tidak merepotkan mu, bunga"
"Tenang
saja, lalat. Aku tidak pernah merasa kau repotkan"
Dan sejak
saat itu aku pun mulai akrab dengan Sang Bunga. Setiap hari aku selalu datang
untuk mengunjungi bunga itu. Memakan seluruh serbuk sarinya, dan bercerita
tentang banyak hal. Hingga pada sore harinya, aku baru pulang dalam keadaan yang
luar biasa kenyang. Tidak hanya itu, ia pun memberiku tempat terindah di
sisinya. Ia design mahkota bunganya sedemikian rupa agar aku dapat tinggal
dengan nyaman di dalamnya. Dalam cuaca panas, tidak kepanasan. Dan saat hujan,
pun tidak kedinginan.
Semua ini
berlangsunh lama, aku merasa seperti terdapat sesuatu yang janggal, sesuatu
yang aneh, namun nikmat rasanya. Aku pun mulai bermetamorfosa menjadi seekor
lalat yang baru. Ya, lalat yang baru. Kau tahu, kini aku terlihat lebih
monthok, aku pun jauh lebih wangi. Pola hidupku kini jauh lebih higienis daripada
sebelumnya.
Entah rasa
apa ini ??? Aku pun tidak mengetahuinya. Ini baru pertama kali aku rasakan.
Pergi ke bunga itu, seperti kedua sisi mata uang. Di satu sisi aku tidak ingin
pergi darinya. Aku ingin selalu bersama dengan bunga. Kehangatannya membuatku
nyaman. Namun di sisi lain, aku juga tidak dapat pergi terlalu lama. Aku juga
memiliki kehidupan sendiri. Oh iya, seharian bersama dengan bunga rasanya masih
kurang saja. Saat aku pulang, hari terasa lama sekali. Kata orang, sejam serasa
sehari, sehari serasa seminggu, seminggu serasa sebulan, sebulan serasa
setahun, dan... Ah sudahlaaaah...
"Bunga,
hari telah menginjak senja"
"Benar
kau akan segera pergi, lalat ???"
"Iya,
seperti biasa"
"Mengapa
matahari itu bergulir begitu cepat ???"
"Itu
yang kau rasa, bunga ???"
"Iya,
dan pada setiap harinya aku selalu bertanya demikian, lalat"
"Aku fikir,
hanya aku seoranglah yang merasakan demikian, bunga"
"Apakah
kau juga merasakan hal yang sama denganku, lalat"
"Tentu"
"Hmmm..."
"Baiklah,
aku harus segera pergi. Sebelum hari benar-benar gulita"
"Tentu
saja, lalat"
"Terima
kasih untuk hari ini, bunga. Sampai bertemu esok hari. Aku akan selalu merindu
ceritamu pada setiap harinya. Maka, persiapkanlah cerita barumu untukku pada
hari esok"
"Lalat,
aku ingin mengutarakan satu hal kepadamu sebelum kau benar-benar pergi"
"Iya,
silahkan saja"
"Tahukah,
kau begitu istimewa untukku. Istimewa..."
"Istimewa
??? Istimewa bagaimana ???"
"Ya,
istimewa. Semua yang ada pada dirimu begitu berbeda"
"Dan
???"
"Dan..."
"Dan
???"
"Yaaa,
dan aku menyukai sebuah perbedaan"
"Lantas
???"
"Perbedaan,
aku menyukai perbedaan karena perbedaan itu Unik. Dan sebuah keunikan akan
melahirkan sesuatu yang baru. Dan itu bagus"
"Bunga,
bolehkah aku bertanya ???"
"Apa
yang kau suka dari aku ???"
"Tutur
katamu..."
"Hmmm,
dan itu semua adalah hal yang bahkan belum pernah aku dengar sebelumnya, lalat"
"Bagaimana
pendapatmu ???"
"Aku
tidak mengerti apa yang aku rasa
Karena semuanya masih
begitu asing bagiku"
Ya, mungkin
hanya itu yang dapat aku katakan kepada bunga saat itu. Bahwa 'aku tidak
mengerti apa yang aku rasa'
Dan sejak saat
itu, semuanya menjadi berbeda. Menjadi lebih manis, lebih indah, lebih, lebih,
dan lebih. Semunya menjadi serba lebih. Aku menjadi semakin sering singgah ke
bunga. Perhatian bunga juga semakin baik. Hingga pada suatu hari, bunga pun
memperkenalkanku kepada temannya. Sama, ia juga bernama bunga. Namun bunga ini
tampak berbeda.
Ia jelek,
tidak semenarik bunga. Benar memang ia juga memiliki kelopak bunga. Namun
warnanya telah lama memudar. Entah aps yang telah terjadi kepadanya. Tetapi
yang jelas, dia tampak begitu kurang percaya diri. Dia lebih senang menyendiri,
dan menjauh dari kawanan sebayanya.
Sering kali
aku menjumpai bunga itu di sepanjang jalan pulang. Benar memang, dia selalu
tidak bersemangat. Tampak lemah dan lesu. Di saat bunga yang lain berlomba-lomba
untuk mencari perhatian banyak orang, sedang dia hanya diam termenung diantara
jajaran rumput liar dan tumpukan batu yang melingkupi tubuhnya itu. Setiap saat
ia hanya bisa menelingkupkan kelopak bunganya, setiap waktu hanya ia habiskan
dengsan menyibukkan diri untuk mengurus dirinya sendiri. Tidak lebih...
Benar saja,
mengenalnya lebih dekat ternyata ia adalah seorang pribadi yang pendiam. Tidak
banyak bicara. Setiap aku mengatakan sesuatu, ia hanya membalas seperlunya saja.
Bahkan tak jarang ia hanya mengangguk, menggeleng, menunjuk, atau menggerakkan
badan tanda sebagai bahasa isyarat.
....... (Ada lanjutannya : bunga dulunya tenar soalnya apik
yang topbgt. Soalnya pake pupuk kandanh. Terus dibully, jadinya nggak jelas gitu)
"Lalat, maukah kau membantuku ???"
"Tentu saja, ada apa bunga ???"
"Tolong lah bantu hibur bunga itu. Kasih sekali
dia..."
"Baiklah, bunga. Aku akan berusaha.. :-)"
Kasihan memang dia, bunga itu tidak memiliki teman. Entah bunga
itu yang tidak ingin berbaur, atau bahkan mereka yang enggan berteman dengan bunga
tersebut. Setiapmpagi, aku tetap pergi ke tempat bunga untuk mengambil serbuk sarinya.
Seperti biasa.
"Bungaaa..." sapaku mengawali perbincangan kali
ini.
.......
(To be continue)
Oleh : SAM98 (Sabtu, 14 Februari 2015)
0 komentar:
Posting Komentar