Senin, 16 Februari 2015

KISAH SEEKOR LALAT



            Sungguh Tuhan benar-benar telah bermurah hati terhadap serial makhlukNya. Be tapa tidak, Dia menciptakan segala yang ada dengan kelebihan lengkap pula dengan kekurangan yang ia miliki. Menganugerahkan kasih abadi yang take akan pernah habis, hingga membuat pijakan until ciptaannya pada tempat yang sangat prestisius, bernama Alam semesta.

            Berbicara mengenai kemurahan hati, Tuhan memang sangat adil. Menciptakan setiap makhluknya dengan seribu satu kelebihan Dan satu kekurangan. Cintanya pun tak akan per ah surut, laksana Sumber mata air di atas hulu pegunungan -walaupun kemarau me landa sekali pun-

            Dan Kay tahu, hingga kini sepanjang hidupku aku masih belum menjumpai dimanakah Than mendapatkan CintaNya tersebut. Setiap toko yang kutemui selalu tidak menjual menu yang disebut dengan 'Kasih Tuhan' ITU. Ah tidak..!!! Mungkin saja Tuhan tidak harus membelinya. Bisa jadi Dia memproduksi sendiri kasihNya tersebut. Hingga kelak di esok Hari pun kasihNya ITU tak akan pernah surut.


            Aku adalah seekor hewan insekta. Ya tentu saja aku memiliki tiga pasang kaki, sepasang sayap dan sepasang antena sebagai aksesorisnya. Aku juga memiliki dua buah mata yang berukuran raksasa, sangat besar bahkan jika dibandingkan dengan sejenisku.

            Oh iya, aku pun senang sekali hinggap di daerahmu. Namun tepat di daerah yang begitu kau senangi, sehingga kawan sebayamu dapat membunuhmu begitu saja. Semuanya, tanpa sisa. Hanya dengan menepuk tangan, hancurlah sudah badanku terlumatkan olehnya.

            Aku mati dalam keadaan yang begitu tragis. Miris memang, terbujur kaku dalam keadaan kepala yang gepeng, isi perut terburai, badan tak berbentuk, dan berbagai macam lainnya yang tidak dapat aku ungkapkan lagi. Tak hanya itu,setelahnya kamu pun biasanya langsung menempelkanku begitu saja di atas dinding rumahmu. Sehingga jasadku pun. Meninggalkan jejak bekas coklat kehitaman, karena darah dari sisa tubuhku yang telah mengering.

           Sebegitu hinanya kah aku dimatamu ??? Hingga dengan sangat keji kau membantaiku tanpa ampun. Bahkan di restoran sekali pun, aku masih disebut-sebut sebagai hewan yang sangat menjijikan. Tempat yang diberi rahmat oleh Tuhan sebagai daerah isi ulang energi bersubsidi ternyata hanya labelnya belaka. Karena bagi kami, tempat itu adalah ladang kematian.

            Kami mati dengan berbagai cara. Mulai dari dipukul, diceples, ditabok dengan alat bantu, hingga mati dalam keadaan mengering pada sebuah perangkap. Manusia begitu cerdas. Menciptakan benda-benda aneh yang dapat membantu mereka, katanya. Mereka menciptakan benda baru agar aku tak lagi mengganggu. Benda berukuran besar itu sangat terang dengan sinar ultravioletnya. Tentu saja benda itu sangat menarik bagi kami. Berduyun-duyun kami datang, ingin mengetahui apakah gerangan yang putih berkilau itu. Dan di saat kami mendekat, alangkah terkejutnya kami. Tatkala benda itu semakin kuat menarik, semakin terang pula cahayanya. Menusuk tajam ke bola mata kami dan membuat kami tidak berdaya karenanya. Alhasil, kami pun pingsan. Belum lagi kami siuman. Tubuh kami telah keras, mengering dengan sendirinya lantaran cahayanya yang sangat terang itu.

            Sungguh biadap manusia itu. Tega-teganya membunuh kami yang hanya ingin mencari makan, barang sesuap dua suap saja. Entah kata apalagi yang akan aku berikan kepada mereka. Umpatan kah ??? Cacian kah ??? Atau makian ??? Astaghfirullah...!!! Aku tidak seharusnya berkata demikian, karena pada dasarnya kita adalah sesama makhluk Tuhan. Tak sepantasnya kami mengucapkan hal kotor yang dilarang oleh Allah SWT tersebut.

            Kita sesama ciptaanya yang dianugerahkan dengan kemampuan untuk berlindung. Bersdaptasi digunakan agar kami dapat bertahan hidup supaya kelestarian keturunan kita dapat terjaga -tidak punah-. Maka seharusnya aku juga tidak menyahkan mereka begitu saja. Mereka melakukan tersebut pasti memiliki alasan juga. Mungkin mereka juga tidak berniat untuk membunuh kelompok kami. Mereka hanya ingin menjaga diri merema saja. Oleh karenanya jangan juga menyalahlan kamu kami yang hanya ingin mendapatkan tambahan nutrisi dari makanan yang ada. Namun ya beginilah cara kami. Kami ingin jangan anggap kami ini sebagai hewan yang hina. Kami hanya hinggap pada benda-benda yang menarik menurut insting kami sebagai kaum insekta. Ya, tidak seperti manusia yang dikaruniani akal dan pikiran sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka kami pun hanya diberikan insting oleh Tuhan agar terlihat serupa dengan manusia -walaupun sebenarnya tidak-

            Sobat, tentunya kau sudah tahu bukan siapakah aku ??? Aku adalah seekor lalat. Hewan yang sering dianggap oleh anak kecil yang serupa dengan nyamuk itu. Ya, juga hewan yang sering dianggap sebelah mata oleh sebagian orang. Hewan yang selalu kau anggap sebagai racun, dan hewan yang sering kau gunakan pula sebagai detektor penanda tempat kumuh dan kotor.

            Menurut ilmu Klenik dalam ritual Jawa, aku merupakan salah satu hewan yang cukup disakralkan. Mereka percaya bahwa lalat sepertiku tak selamanya dapat membawa bibit penyakit. Kau tahu bahwa aku bahwa aku memiliki enam buah kaki. Tiga kaki di sebelah kiriku boleh jadi memang membawa bibit penyakit, namun jangan pernah meragukan bagian kaki sebelah kananku. Ketiga kaki sebelah kananku ini membawa madu-madu yang konon sebagai penawar bibit penyakitku sendiri tadi. Jadi mau dimana pun aku hinggap, aku (mungkin) tidak akan membawa racun. Karena aku juga membawa penawarnya. Mungkin juga ini yang membuat Chrisye menjadi terinspirasi untuk membuat lagunya yang berjudul 'Madu dan Racun'. Ah, ada-ada saja...

            Sekarang izinkan aku bercerita tentang kisahku. Sebagai seekor lalat, tentunya aku terlahir sebagai hewan yang lincah. Yang senang terbang kian kemari, hinggap sana  hinggap sini. Mulai dari tempat terindah seperti kelopak bunga, sekelompok makanan yang nikmat , hingga tong sampah yang busuk baunya pun dapat aku sambangi. Dansekali lagi, aku pun tak tahu bedanya. Karena aku hanya mengikuti keinginanku saja. Hanya mengikuti insting hewani alamiah ini.

            Aku begitu senang jika aku hinggap di kelopak bunga yang sedang bermekaran. Warna mahkotanya begitu mencolok, seperti ia ingin memamerkan keunggulan di atas segalanya. Agar kami -para serangga- dapat tertarik untuk mendekatinya. Dan benar saja, aku pun serasa terhipnotis akan magisnya pesona warna cinta itu. Hmmm, sungguh nikmat rasa serbuk sari yang ia hasilkan. Dapat aku lahap habis hanya dalam waktu sekejab sajaa. Hhaha..!! Lihatlah mukaku ini, sudah mulai cemong sana-sini dipenuhi dengan butiran kuning yang legit dan manis itu. Hmmmm...
            "Terima kasih, bunga. Serbuk sarimu ini sangat nikmat"
            "Benarkah itu, lalat"
            "Sungguh, bunga. Aku tidak berbohong"
            "Jika kau suka, kau boleh ke sini setiap hari jika kau mau"
            "Apa ??? Setiap hari ???"
            "Ya, setiap hari aku akan memproduksi serbuk sariku itu. Bagaimana ??? Kau mau bukan?"
            "Boleh kah ??? Apakah kau tidak keberatan ??? "
            "Tentu saja tidak, lalat. Aku akan sangat senang jika kau setiap hari dapat ke sini."
            "Baiklah, aku akan ke sini setiap hari jika aku tidak merepotkan mu, bunga"
            "Tenang saja, lalat. Aku tidak pernah merasa kau repotkan"

            Dan sejak saat itu aku pun mulai akrab dengan Sang Bunga. Setiap hari aku selalu datang untuk mengunjungi bunga itu. Memakan seluruh serbuk sarinya, dan bercerita tentang banyak hal. Hingga pada sore harinya, aku baru pulang dalam keadaan yang luar biasa kenyang. Tidak hanya itu, ia pun memberiku tempat terindah di sisinya. Ia design mahkota bunganya sedemikian rupa agar aku dapat tinggal dengan nyaman di dalamnya. Dalam cuaca panas, tidak kepanasan. Dan saat hujan, pun tidak kedinginan.

            Semua ini berlangsunh lama, aku merasa seperti terdapat sesuatu yang janggal, sesuatu yang aneh, namun nikmat rasanya. Aku pun mulai bermetamorfosa menjadi seekor lalat yang baru. Ya, lalat yang baru. Kau tahu, kini aku terlihat lebih monthok, aku pun jauh lebih wangi. Pola hidupku kini jauh lebih higienis daripada sebelumnya.

            Entah rasa apa ini ??? Aku pun tidak mengetahuinya. Ini baru pertama kali aku rasakan. Pergi ke bunga itu, seperti kedua sisi mata uang. Di satu sisi aku tidak ingin pergi darinya. Aku ingin selalu bersama dengan bunga. Kehangatannya membuatku nyaman. Namun di sisi lain, aku juga tidak dapat pergi terlalu lama. Aku juga memiliki kehidupan sendiri. Oh iya, seharian bersama dengan bunga rasanya masih kurang saja. Saat aku pulang, hari terasa lama sekali. Kata orang, sejam serasa sehari, sehari serasa seminggu, seminggu serasa sebulan, sebulan serasa setahun, dan... Ah sudahlaaaah...
            "Bunga, hari telah menginjak senja"
            "Benar kau akan segera pergi, lalat ???"
            "Iya, seperti biasa"
            "Mengapa matahari itu bergulir begitu cepat ???"
            "Itu yang kau rasa, bunga ???"
            "Iya, dan pada setiap harinya aku selalu bertanya demikian, lalat"
            "Aku fikir, hanya aku seoranglah yang merasakan demikian, bunga"
            "Apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku, lalat"
            "Tentu"
            "Hmmm..."
            "Baiklah, aku harus segera pergi. Sebelum hari benar-benar gulita"
            "Tentu saja, lalat"
            "Terima kasih untuk hari ini, bunga. Sampai bertemu esok hari. Aku akan selalu merindu ceritamu pada setiap harinya. Maka, persiapkanlah cerita barumu untukku pada hari esok"
            "Lalat, aku ingin mengutarakan satu hal kepadamu sebelum kau benar-benar pergi"
            "Iya, silahkan saja"
            "Tahukah, kau begitu istimewa untukku. Istimewa..."
            "Istimewa ??? Istimewa bagaimana ???"
            "Ya, istimewa. Semua yang ada pada dirimu begitu berbeda"
            "Dan ???"
            "Dan..."
            "Dan ???"
            "Yaaa, dan aku menyukai sebuah perbedaan"
            "Lantas ???"
            "Perbedaan, aku menyukai perbedaan karena perbedaan itu Unik. Dan sebuah keunikan akan melahirkan sesuatu yang baru. Dan itu bagus"
            "Bunga, bolehkah aku bertanya ???"
            "Apa yang kau suka dari aku ???"
            "Tutur katamu..."
            "Hmmm, dan itu semua adalah hal yang bahkan belum pernah aku dengar sebelumnya, lalat"
            "Bagaimana pendapatmu ???"
            "Aku tidak mengerti apa yang aku rasa
 Karena semuanya masih begitu asing bagiku"
            Ya, mungkin hanya itu yang dapat aku katakan kepada bunga saat itu. Bahwa 'aku tidak mengerti apa yang aku rasa'

            Dan sejak saat itu, semuanya menjadi berbeda. Menjadi lebih manis, lebih indah, lebih, lebih, dan lebih. Semunya menjadi serba lebih. Aku menjadi semakin sering singgah ke bunga. Perhatian bunga juga semakin baik. Hingga pada suatu hari, bunga pun memperkenalkanku kepada temannya. Sama, ia juga bernama bunga. Namun bunga ini tampak berbeda.

            Ia jelek, tidak semenarik bunga. Benar memang ia juga memiliki kelopak bunga. Namun warnanya telah lama memudar. Entah aps yang telah terjadi kepadanya. Tetapi yang jelas, dia tampak begitu kurang percaya diri. Dia lebih senang menyendiri, dan menjauh dari kawanan sebayanya.

            Sering kali aku menjumpai bunga itu di sepanjang jalan pulang. Benar memang, dia selalu tidak bersemangat. Tampak lemah dan lesu. Di saat bunga yang lain berlomba-lomba untuk mencari perhatian banyak orang, sedang dia hanya diam termenung diantara jajaran rumput liar dan tumpukan batu yang melingkupi tubuhnya itu. Setiap saat ia hanya bisa menelingkupkan kelopak bunganya, setiap waktu hanya ia habiskan dengsan menyibukkan diri untuk mengurus dirinya sendiri. Tidak lebih...

            Benar saja, mengenalnya lebih dekat ternyata ia adalah seorang pribadi yang pendiam. Tidak banyak bicara. Setiap aku mengatakan sesuatu, ia hanya membalas seperlunya saja. Bahkan tak jarang ia hanya mengangguk, menggeleng, menunjuk, atau menggerakkan badan tanda sebagai bahasa isyarat.

....... (Ada lanjutannya : bunga dulunya tenar soalnya apik yang topbgt. Soalnya pake pupuk kandanh. Terus dibully, jadinya nggak jelas gitu)

"Lalat, maukah kau membantuku ???"
"Tentu saja, ada apa bunga ???"
"Tolong lah bantu hibur bunga itu. Kasih sekali dia..."
"Baiklah, bunga. Aku akan berusaha.. :-)"
Kasihan memang dia, bunga itu tidak memiliki teman. Entah bunga itu yang tidak ingin berbaur, atau bahkan mereka yang enggan berteman dengan bunga tersebut. Setiapmpagi, aku tetap pergi ke tempat bunga untuk mengambil serbuk sarinya. Seperti biasa.
"Bungaaa..." sapaku mengawali perbincangan kali ini.
 .......
(To be continue)

Oleh : SAM98 (Sabtu, 14 Februari 2015)

0 komentar:

Posting Komentar