Aku melihat bayinya terlahir secara sungsang dengan
kepala yang muncul terlebih dahulu. Belum lagi kepalanya yang terlilit tali
pusatnya sendiri, hingga membuatnya terhambat keluar. Ditambah dengan keadaan
induknya yang yang sangat memprihatinkan.
Bagaimana tidak, tangannya berlumuran darah, seperti
terdapat bekas peluru. Nampaknya waktu itu singa tersebut sedang mencari
makanan untuk kawanannya. Kemudian terdapat seorang pemburu yang menembak singa
betina tersebut dengan timah panasnya.
Lalu ia berlari menghindari pemburu tersebut. Sampai
terdampar di sini, di tempat ini. Peluru itu mengenai lengan depan si induk
yang tengah hamil tua ini. Mungkin kontraksi dadakan yang membuat ia harus
melakukan persalinan secara tiba-tiba. Coba bayangkan jika peluru tersebut
mengenai perutnya, maka dua nyawa akan melayang seketika.
Pemuda itu pun langsung tersadar dari lamunannya,
dan membantu persalinan singa tersebut. Air mata singa itu meleleh mengelilingi
lingkar matanya, seolah menggambarkan betapa sakitnya dirinya saat itu.
Bagaimana tidak, ia harus menanggung beban kesakitan yang berlipat ganda.
Pertama, perih melahirkan dan kedua panasnya daging yang tertembus peluru.
Saat mendekat, singa itu sepertinya enggan dengan
kedatangan pemuda tersebut. Dia bergeser menjauh dengan segala keterbatasan
yang ia miliki. Setelah pemuda tersebut mengelus dan mencoba untuk
berkomunikasi dengannya, berbicara dengan bahasa hati antar makhluk hidup yang
saling membutuhkan pertolongan. Singa itu pun mulai luluh dengan beberapa
elusan tepat pada kepala si kucing besar itu. Sepertinya pemuda tersebut sudah
terbiasa menjinakkan hewan dengan memperlakukannya semacam itu.
Dia menjadi teringat kepada kucing manisnya di
rumah. Dia memperlakukan kucingmya itu sama persis dengan singa itu saat ini,
karena singa adalah bentuk raksasa daripada kucing.
Anjing buldog kesayangan pemuda tersebut juga tak
mau ketinggalan. Ia mendapat bagian untuk menjilati luka lengan dari singa
tersebut. Guna membersihkan luka tembaknya dan menghentikan pendarahannya. Sedang
pemuda tersebut membantu persalinannya.
Ironis, kepala singa kecil telah terlihat, terlilit
tali pusat membuatnya sulit untuk bernapas. Wajahnya pun mulai membiru hamper
kehabisan sisa oksigen. Matanya melotot dan napasnya terengah-engah. Pemuda itu
pun segera mengambil pedang buru miliknya. Maksudnya untuk memotong tali pusat
yang melilit kelahirannya.
Namun belum sempat ia melakukannya, singa itu pun
telah menggigit tangan pemuda tersebut. Mungkin ia takut bahwa pemuda itu akan
membunuh anaknya nanti. Gigitannya tidak begitu berarti, rupanya singa itu
benar-benar lelah. Bahkan taring-taringnya yang sajam saja tidak mampu menembus
daging lunak pemuda tersebut. Hanya balutan air liur hangat yang membahsahi
tangannya, sebagai tanda gigitan si raja hutan betina itu. Tenaga telah habis.
“Hei, tenanglah sobat. Aku hanya ingin memotong tali
pusat anakmu saja. Agar kelahiran anakmu lekas selesai.” Jelas pemuda itu
ramah. Lalu ditariknya tali pusat anak itu. Dan berhasil, kini tinggal
mengeluarkan bagia badannya saja.
Singa betina itu mengaum, keras sekali, menggema ke
seluruh sudut hutan. Seakan mengerang kesakitan. Dan hanya ia dapat gambarkan
melalu betapa besarnya aumannya tersebut. Sambil terus mengeluarkan
keasliannya, singa itu diminta untuk mengedan guna mengeluarkan anaknya.
Si anjing bulldog juga semakin dalam menjilati luka
tembaknya, sepertinya ia hamper menemukan peluru tersebut. Sedang pemuda tersebut mulai meneteskan
keringat dingin karena ketegangan yang menyeruak disekelilingnya. Sama seperti dokter
bedah yang sedang mengoperasi pasiennya.
Tidak begiut lama, cukup tiga kali edanan telah
mengeluarkan putranya terserbut. Ia masih hidup, namuan berada dalam ambang
kematian. Pemuda itu berusaha untuk mendengarkan detak jantungnya, benar saja
lemah sekali.
Tugasnya belum selesai, ia masih harus membantu
singa kecil itu untuk bernapas secara mandiri. Beberapa kali mencoba berbagai
cara yang dapat ia lakukan untuk mengumpulkan oksigen. Dan akhirnya pun
berhasil. Kedaan singa kecil itu mulai beranjak stabil.
Sedang induknya telah sadarkan diri setelah beberapa
waktu pingsan pasca melahirkan. Oh iyah, pelurunya juga telah berhasil si
anjing keluarkan dengan sempurna. Pendarahannya juga sudah mulai berhenti,
“Kerja yang bagus, Kawan” Puji pemuda itu kepada
anjingnyasambil terus mengelusnya lembut. Ia pun membalas elusan saying tuannya
dengan menjilati tangan pemuda itu yang mulai lengket karena air lir singa yang
mongering.
Pemuda itu tinggal membungkus luka si induk singa
dengan obat tradisional, ramuan alam yang sekiranya dapat membantu untuk
mengeringkan luka bekas tembakan tersebut. Sehingga induk singa itu lekas
sembuh dan cepat merawat putranya sebagaimana mestinya.
Racikan ini diajarkan oleh Ibu pemuda tersebut, ia
sering sekali melihat ibunya menumbuk-numbuk dedaunan yang akan dipakaikan
sebagai jamu di saat keluarga mereka sedang sakit.
Sebagai manusia yang cerdas, tentunya pemuda itu
akan selalu kepada ibunya. Apa nama racikannya ?? Untuk apa ?? dan apa
khasiatnya ?? hingga bagaimana cara membuatnya ?? semua ia tanyakan tanpa
celah.
Ibunya pun akan dengan sabar menjawab segala
pertanyaan yang terlontar dari putra semata wayangnya ini. Itulah yang membut
pemuda itu begitu melekatkan memori tentang bagaiamana cara membuat ramuan
tradisional. Dengan begitu ia akan selalu mengingat ibunya J
Di tumbuknya dedaunan muda yang ia temukan tak jauh
dari lokasi kejadian, lalu ia balurkan ke sekujur luka bekas tembakan si singa
itu. Sambil terus menahan sakit, singa itu tampak diam dan pasrah pada
penanganan pemuda tersebut. Sepertinya ia telah menaruh kepercayaan penuh
kepadanya. Tidak seperti awal pertemuan mereka.
Daun yang lebar, tebal, besar, dan kuat ia gunakan
untuk membungkus lukanya, agar ramuan tadi tidak berhamburan kemana-mana.
Mungkin fungsinya sama seperti kotak perban dalam kotak P3K. dan ia mencabut
tanaman inang yang ada di sampingnya sebagai pengikat daun tersebut. Sempurna !
Lengkap sudah, begitu cekatan pemuda itu dalam menolong kelahiran bayi singa
tersebut. Tanggap dan cepat dalam membantu sesame.
Hahaha … Baru sadar pemuda itu, ternyata ia juga
ditemani oleh sekumpulan merpati putih yang sedari tadi berkicau dengan
merdunya. Mungkin burung ini juga yang berteriak berulang kali hingga
menuntunnya ke tempat ini.
Ia mendengar nampaknya ia begitu senang. Sepertinya
ia turut merayakan kelahiran calon penguasa hutan ini. Entahlah pemuda itu pun
juga tidak mengetahuinya. Ia hanya menerka-nerka saja. Mecoba untuk menebak
bahasa burung. Yang tahu hanyalah mereka dan sesamanya.
Pemuda itu lelah sekali . rasa haus menyeruak kering
di kerongkongannya. Persediannya airnya pun telah habis. Pakaiannya basah,
kuyub oleh keringat dingin sehabis ia keluarkan. Sisanya saja masih ada di
kenignya. Besar, sebedar biji jagung, banyak pula. Singa itu sepertinya juga
membutuhkan iar minum, untuknya juga anaknya.
“Tunggu sebentar ya Sobat, aku akan segera kembali”
pinta pemuda itu kepada si singa. Ia tak menjawab. Ia masih saja ayik menjilati
anakanya yang baru lahir itu. Dan tak bisa diganggu oleh hal lain yang ada di
sekitarnya. Memang kemesraan ibu dan anak begitu luar biasa indahnya. Pemuda
itu menganggap bahwa kebungkaman singa tersebut adalah jawaban Iya.
Lantas ia pergi menjauh membawa botol minuman dan
meninggalkan ranselnya itu, menujusuara gemericik air yang begitu nyaring ia
dengar.
Benar saja, tidak begiut jaub dari tempatnya
beristirahat terdapat sebuah mata air yang teramat indah. Air terjun dengan
aliran sungai di bawahnya. Airnya deras jatuh ke bawah dengan deretan pohon-pohon
di samping kanan kirinya. Begitu derasnya sehingga menciptakan cipratakan bias
yang melahirkan pelangi yang sangat menakjubkan. Sungguh Maha Besar yang tidak
dapat tergantikan.
Pemuda itu bergegas, ia hanya mencuci muka
sekenanya. Lalu segera mengambil air untuknya minum juga untuk si singa betina
itu. Seusai dengan menghilangkan dahaga di bibir sungai itu, dengan penuh
kehati-hatian ia membawa dua tempat air minum, satu untuk anjingnya, dan yang
lain untuk pasangan singa dan anaknya.
Sambil berjalan ia membayangkan bagaimana ia nanti
pasca berakhirnya semua ini, ia kana kembali pergi ke air terjun itu. Membuat
kubangan, lalu berendam di dalamnya. Dengan pijatan alami dari jatuhnya anak
sungai itu. Alangkah nikmatnya ! bertemankan udara sejuk nan asri, dan hembusan
angin sebagai nyanyian surgawi yang memabukkan.
Dan enjingnya tentu akan bersenang-senang ngikuti
arus sungai itu. Nampaknya pemuda itu akan menghentikan langkahnya barang
sejenak lebih lama. Ia ingin merasakan kekayaan alamciptaanNya ini yang tiada
duanya. Gambaran alam di atas kanvas alam semesta dengan tinta penyejuk jiwa
yang semakin penyempurnakan ciptaanya saja. Aduhai indahnya…
Belum lagi sampai, pemuda itu masih tersenyum
sendiri dalam lamunan nakalnya. Bergelut dengan dunianya sendiri. Ia mendengar
lolongan keras anjingnya, yang disusul dengan gonggongan kencang berkali-kali.
Pemuda tersebut merasakan ada hal yang tidak beres. Ia pun mencoba untuk
mempercepat langkahnya. Cipratan air yang mulai tumpah membasahi lagi pakaian
pemuda itu lagi yang tadinya akan segera mengering.
Setelah sampai, tak ada signifikan yang terjadi pada
tempat itu. Semua masih tetap sama seperti saat ini ia tinggalkan tadi, tidak
ada yang berbeda. Hanya saja, si ibu singa tadi tidak lagi menjilati anaknya.
Ia justru menekan-nekan tubuh anaknya, menggeser kepalanya dengan lembut.
Sedangkan anaknya hanya tergolek lemak tak berdaya.
Diam saja, tanpa kata. “Mungkin ia sedang tidur”, piker pemuda itu. Namun
firasatnya mengatakn lain, sepertinya ia harus memeriksanya lebih rinci lagi.
Ia letakkan tempat air itu, denga sisanya yang hanya tinggal separuh. Lantas ia
beranjak mendekati si anak singa itu.
Induk singa itu memperhatikan si pemuda tersebut
dengan tatapan penuh harap, seakan berharap bahwa anaknya dalam kondisi yang
baik-baik saja. Dan tidak terjadis esuatu yang begitu berarti kepadanya. Pemuda
itu pun memegang tubuh anak singa itu.
Dingin. Tak terasa aliran darahnya mengalir ke
sekujur tubuhnya. Nadinya, hilang. Tidak terdapat denyutan yang terasa.
Jantungnya, jua tak ada. Tidak berdetak sedikit pun. Benar-benar diam tak
bergerak. Seperti hanya onngokan daging yang berbalut kulit. Tidak lebih.
“Anakmu telah mati,” jelas pemuda itu seketika,
tanpa banyak basa-basi seperti kebanyakan orang. Sekan mengerti dengan
perkataan pemuda tersebut, sang ibu singa itu pun melemas. Ia ciumi, ia peluk,
ia jilati jasad anaknya yang hanya dapat bertahan dalam hitungan jam ini.
Singa itu kecil, mungil, dan tak berdaya. Dia adalah
makhluk yang tidak berdosa, namun sayangnya harus diambil sedini ini. Masih
terlalu muda baginya. Ia baru saja menghela napas, mungkin dapat dihitung
dengan jari. Ia pun belum sempat mengesap ASI dari induknya. Belum sempat
merasakan indahnya berpetualang dengan sesamanya. Belum sempat tumbuh dewasa,
bahkan ia pun belum lagi mengeluarkan auman pertamanya sebagai seekor singa
sejati. Giginya saja maish belum tumbuh. Namuninilah takdir, suratan yang harus
dilalui oleh bayi yang malang itu. Bersyukur ia sempat lahir ke dunia ini,
walaupun dengan mata tertutup sekali pun.
Pemuda itu pun menyodorkan air yang tadi ia bawa.
Berharap agar si induk singa itu dapat segera minum. Sehingga ia segera tenang
dan menerima kenyataan bahwa anaknya telah mati. Namun sayangnya iar itu ia
lempar dan ia buang jauh-jauh. Sepertinya ia sedang merasakan kesedihan yang
teramat mendalam. Pemuda itu pun mengerti, dan dapat memakluminya.
Mungkin ini kali pertama ia melahirkan dan harus
menelan pil pahit dengan putra pertamanya yang telah mati sebagai kenyataannya.
Belum lagi siklus kelahiran singa yang teramat lama. Tidaklah mudah membuat
seekor singa dapat hamil. Ia harus memiliki cukup umur untuk dapat memiliki
ketururan. Terlebih lagi kendala dewasa ini yang mana terdapat banya sekali perburuan
hewan liar seperti singa, yang membuat mereka mati terbunuh sebelum mereka
dapat melanjutkan keturunannya.
Bagaimana ia akan mengatakan kepada keluarganya
bahwa ia telah melahirkan, namun bayi kecilnya mati. Bagaimana ia dapat
menjelaskan kepada sesamanya bahwa pewaris sang raja hutan telah tiada.
Haruskah ia membawa jasad anaknya itu ke hadapan semua orang agar semua percaya
?? Entahlah.
Ini semua tidak serumit yang dibayangkan .
sebenarnya, mudah saja. Hanya tinggal dijalani, dinikmati, dan disyukuri. Dan
selesai. Karena memang Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan yang melampaui
batas kemampuan pada setiap makhluknya. Percayalah, Mama singa. Semua pasti ada
jalannya. Jalani saja seperti kau sedang meminum obat, walau pun itu rasanya
pahit. Namun itu akan segera menyehatkanmu. Yakinlah…
Hari itu adalah hari yang begitu melelahkan bagi
pemuda tersebut. Ia juga turut berduka atas kepergian akan singa yang telah ia
tolong tadi. Ia menyesal karena tidak dapat berbuat banyak kepada bayi mungil
itu. Bahkan alampun ikut bersedih, langit mulai mendung, udara menyeruak
menjadi teramat dingin. Tanpa piker panjang lagi pemuda itu pun memutuskan
untuk menginap di sini, di tempat ini.
Khawatir akan turun hujan, pemuda tersebur mengubah
gaya pendoponya kali ini dengan sedikit tambahan kelambu dari inang pohon dan
atapnya dari dedaunan kering. Dibuatnya juga kali ini agar tidak ada celah
sedikit pun , setidaknya agar tempat itu dapat mengusir rasa dingin pada
malamnya nanti.
Dan benar saja, tidak lama berselang gerimis pun
dating. Rintik-rintik yang membawa udara dingin yang begitu menyeruak. Disusul
dengan guyuran hujan yang begitu derasnya. Alam mulai murka, ia mulai
menunjukkan kedukaannya saat ini. Hutan pun turut berkelut dalam kedukaan yang
berselimut dengan amarah. Bagaimana tidak ?? Hutan telah kehilangan pewarisnya,
calon pelindung hutan.
Alam sekan mengerti keadaan saat itu, turut
merasakan kegundahan yang berkecamuk dalam hati kami kala itu. Bahkan
sepertinya alam itu telah galau ketimbang kami, terbukti dengan ia telah
memuntahkan segala yang ia punya. Hujan pun tak kunjung reda, badai malah
dating menyapa. Membawa topan yang begitu besar. Juga gunturnya yang begitu
menggelegar. Petir itu berkilat-kilat marah menyambar apa pun yang ada di sana.
Semua yang ia lihat akan ia jilat tak ubahnya menjadi barang yang hanya
memiliki satu warna. Hitam. Hanya menjadi abu dalam pelimpahan belaka.
Khawatir dengan keadaan singa itu, ia tetap dalam
posisinya, denganmerangkul jasad anaknya yang mulai membusuk. Sedang si anjing
bulldog setia menjaga tepat di sampingnya lengkap dengan guyuran hujan yang
membalutnya. Dalam hati, pemuda itu berujar bahwa besok ia akan mengubur bayi
yang malang itu. Lantas akna melanjutkan perjalannya untuk mecari kijang yang
ia cari-cari.
Dan keesokan harinya…
Kelelahan yang begitu berarti, membuat pemuda itu
tidur terlalu lelap. Hingga ia tak sadar bahwa hujan telah reda. Paginya pun ia
lalui ketika matahari mulai menyingsing mendekati kepala. Padahal biasanya
sebelum fajar terbit ia telah terbangun, lantas berjalan mancari tujuannya.
Semangatlah yang telah membangunkannya dari bunga tidur yang membuainya selama
ini. Namun sepertinya kelelahan badannya kali initelah memberatkan mata si
pemuda itu.
Badannya yang remuk telah membuai sekujur tubuhnya.
Hingga ia bangun kesiangan pada pagi ini. Si anjing yang juga merasakan hal
yang tidak beres telah terjadi kepada tuannya kali ini. Ia pun mulai khawatir
karenanya. Tidak kekurangan akal, akhirnya anjing itu pun menggonggong
sekeras-kerasnya guna membangunkan tuannya. Ia terus menerus mengeluarkan suara
khasnya itu, memberisikkan hutan di pagi hari.
Lelah menggonggong karena suranya yang tidak
digubriknya sedari tadi, anjing iut pun berganti dengan mengoyang-goyangkan
pohon tempat tuannya beristirahat. Sekuat tenaga ia mencoba untuk menggerakkan
pohon itu, baik iut dari kiri maupun dari kanan. Namun usahanya itu masih saja
sia-sia. Karena memang tenaganya yang boleh dibilang masih terlampau kecil jika
dibandingkan dengan ukuran pohon tersebut. Maka ia pun hanya mampu menggetarkan
dedaunan di atas sana. Sehingga daun-daun itu mengguyur sekujur tubuh anjing
itu dengan embun dingin bercampur sisa air hujan semalam.
Sedangkan, di atas sana tuannya sedang asyik
mendengarkan nyanyian surgawi yang mengalun begitu indahnya, begitu merdunya.
Ia semakin betah saja berada di sana, ditambah dengan tarian gemulai dari Sang
Empunya. Tidak seronok, namun cukup menghibur. Bayangan pemuda itu, bahwa ia telah
berjam-jam berada di sana. Melihat pemandangan nan asri ditemani dengan hiburan
yang memadu kasih. Sungguh lengkap sekali, surge dunia.
Jika boleh memilih, maka pemuda itu akan meminta
bahwa saat ini untuk berhenti. Biarkan waktu berlalu, namun izinkan ia dapat
tetap menetap di sini., di tempat ini. Semua kenikmatan ini seakan menjadi lem
perekat di kursinya tempat ia terduduk saat ini. Sehingga ia begiut enggan
untuk sekedar beranjak dari posisinya saat ini.
Tetapi semua seketika musnah, lenyap ditelan bumi
ketika gempa itu datang. Nyanyina itu berubah menjadi jeritan yang mencekam.
Dunia berguncang, robek di sana sini, runtuh semua. Pemuda itu pun mencoba
untuk berlari menyelamatkan diri, tetapi langkahnya terhalang oleh sempoyongnya
gerakan kaki yang juga melambat. Buminya terbelah, ia berusaha untuk berlari
semakin kencang. Namuan usahanya gagal karena ia tersandung oleh kakinya
sendiri, dan membuat keadaan semakin memburuk.
……….
Dan ia melihat suatu kenyataan bahwa ia telah
bermimpi, ia masih berada di dalam gubug yang ia buat sendiri tadi malam.
Ternyata semuanya hanyalah sebuah mimpi yang sekedar lewat menyapa malamnya
tadi. Pemuda itu mendapati bahwa pipinya telah basah oleh air liur yang ia
keluarkan tanpa sengaja saat tertidur. Hahahah J “Masih hangat, mungkin tidak lama
keluarnya”, piker pemuda itu sambil tersenyum sendiri.
Pemuda itu maish saja termenung dalam ingatan kepada
mimpinya tadi. Jika dibilang mimpi indah, namun mimpinya berakhir dengan
sesuatu yang begitu mendebarkan. Dan jika dikatakan dengan mimpi buruk,
kejadian tadi berawal dengan bahagia. Entahlah, tapi yang jelas seuatu
pengalaman yang begitu unik dengan bunga tidur yang teramat luar biasa.
To Be Continue :)
Oleh : SAM98 (Rabu, 30 September 2015)
0 komentar:
Posting Komentar