Semua yang baru saja dimulai
memang selalu indah…
Allah SWT hadir diantara
kita, menjelma menjadi kasih yang ia berikan kepada seluruh umat manusia. SayangNya
juga ia berikan melalui berbagai macam kenikmatan yang manusia rasakan selama
ini. Benar-benar menjadi sebuah anugrah yang teramat luar biasa yang pasti akan
dicari.
Tak dapat di beli, karena
memang tidak terdapat parameter khusus untuk mengukur satuan dari karuniaNya
ini. Tidak dapat dipegang, sebab teramat banyak mukjizat yang diberikan
sehingga terlampau kecil tangan kita untuk menangkup semua kebaikanNya. Namun
hanya bisa dirasakan, dinikmati, lantas kita syukuri sebagai wujud dari ucapan
terima kasih yang tak terhingga.
Ibu…
Ayah…
Pertemuan mereka di kota ini
sebagai anak manusia dengan benih kasih sayang yang masih lekat dengan
kemurnian diantara mereka. Setelah
sekian lama pergi melanglang buana menunggu sebuah penantian yang tak kunjung
menemui titik terang, karena memang terhalang oleh rasa kecocokan. Hingga
akhirnya menumbuhkan sesuatu yang mereka panggil dengan sebutan, cinta.
Sampai pada ujung pencarian
teman hidup, serius menatap masa depan bersama. Berdua. Saling berpegangan
menyongsong hari esok bahagia. Dengan niat dalam hati, yang disimpul dengan
ikrar lantang dihadapan penghulu. Serta catatan pernikahan yang mengesahkan
perkawinan mereka menjadi lebih kuat ikatannya. Mereka mantap untuk melangkahkan
kaki ke jenjang yang lebih tinggi, Pelaminan.
Mereka bahagia, malalui
kehidupan selanjutnya bersama. Mereka tersenyum lega, walau pun sebenarnya
beban mereka bertambah. Karena mereka sebenarnya satu, hanya saja terpisah oleh
dua raga. Pikulan mereka tanggung bersama. Dengan ayah sebagai kepala keluarga
dan ibu sebagai kepala rumah tangga.
Sampai tiba saat aku hadir
menjadi warna baru yang menghiasi kehidupan mereka. Melengkapi pelangi
perjalanan panjang mereka, sempurna dengan berbagai kesenangan mereka yang
lain. Dan aku menghela nafas diantara mereka, membuat mereka menjadi orang tua.
Pasangan bahagia yang
membuat mereka semakin betah saja di rumah. Aku yang terlahir diantara mereka
keturunan ayah dan ibuku, Sofia Ari Murti. Membawa DNA mereka sebagai bukti
bahwa aku lah milik mereka, bukan yang lain.
Tabungan masa dewasa mereka.
Akulah sandaran mereka nanti, dan tempat mereka kembali di kala hari tua nanti
telah tiba. Sebagai wujud imbal balik rasa terima kasihku atas kasih sayang
mereka, walaupun sebenarnya mereka ikhlas merawatku.
Kami bahagia, tertawa
bersama. Hidup dalam kasih Allah SWT. Ini adalah benar-benar lembaran yang baru
bagi mereka. Akulah yang membuat mereka menjadi pasangan yang lengkap sebagai
keluarga kecil. Namun sungguh sarat akan makna kehidupan yang tak dapat mereka
dapatkan di luar sana.
Semua begitu damai, semua
bahagia. Seakan dunia hanya milik mereka. Mereka pamerkan aku dihadapan
keluarga mereka yang lain, sebagai pertanda bahwa mereka telah berhasil menjadi
keluarga. Semua juga turut senang. Demikian juga dengan aku, yang belum
mengetahui apapun kecuali rasa suka.
Waktu demi waktu
menumbuhkanku dalam keluarga kecilku. Masa pula lah yang membuatku semakin
mirip dengan mereka. Terkadang mereka dapat melihat diri mereka dalam jiwaku.
Membuat mereka Dejavu akan hal-hal yang baru aku lakukan dan yang telah mereka
lakukan dulu di masa kecil.
Begitu sempurna kehidupanku,
tanpa celah sedikitpun. Aku seolah sebagi kertas putih, masih bersih, lantas
mereka goresi kehidupanku dengan tinta keceriaan dari pena emas yang telah
mereka simpankan khusus untuk diriku. Atau mungkin sebagai kanvas, yang mereka
lukis dengan kebaikan. Lantas setelahnya mereka pajang lukisan itu di ruang
tamu, sebagai unggulan yang akan mereka pamerkan kepada orang-orang nanti.
Dengan mereka mengajariku
bagaimana cara berdiri, saling bermain seolah tanpa beban, mengajari hidup
dalam kesederhanaan, mengajariku bagaimana tertawa bahagia, mereka berusaha
menyenangkan hatiku dengan sekedar berjalan-jalan bersama, mengajariku cara
berjalan, mengajariku bagaimana menyanyi, mengajariku bersikap ramah, melatihku
berani tampil percaya diri di depan banyak orang, mendampingiku hingga aku
mengenal bangku sekolah.
Terima kasih telah
mengajariku banyak hal…
Tetapi entah mengapa mereka semua
tidak lagi akur,
Ayahku, ibuku, keluarga
kecilku…
Tak seorang pun dari mereka
memberiku jawaban mengapa ini terjadi. Aku kebingungan, akan bertanya kepada
siapa aku ?? Nihil, semuanya menyembunyikan kebahagiaanku yang dulu. Atau
mungkin bahkan membuangnya. Sebab telah kucari kemana pun kebahagiaan itu tak
lagi ada, hanya ada kesuraman yang selalu aku benci. Tidak pernah aku suka.
Kini rumahku mendung.
Di saat inilah Allah SWT
mengenalkanku dengan air mata dari rasa sakit dalam hati, dan bukan fisik. Di
sinilah aku harus dihadapkan pada sebuah keputusan yang sebenarnya tidak pernah
dapat aku jawab. Aku harus memilih diantara mereka. Ibu dan ayah, yang
sama-sama aku cinta. Sama ratanya.
Luka ini membesarkanku dalam
diam, aku tidak mampu berkata lebih banyak lagi. Aku dihadang oleh ruangan
kedap suara yang membuat suaraku tak lagi dapat di dengar, walapun aku telah
berteriak sekali pun. Percuma saja. Aku terus terdiam meski akhirnya aku tahu
jawaban dari apa yang terjadi.
MEREKA BERPISAH…
Sedih ?? Sudah pasti. Marah
?? Barang tentu. Tanda tanya besar selalu terlintas dalam fikiranku. Ada apa ??
Lupakah mereka seperti apa mereka dulu pada awal pertemuan mereka ?? Lantas
untuk apa kehidupan selama belasan tahun ini jika memang mereka tidak saling
cinta. Untuk apa aku dibesarkan jika memang hanya untuk disakiti seperti ini ??
Serta beribu-ribu pertanyaan yang tak mampu aku utarakan. Hanya dapat aku
simpan.
Yang ku tahu hidupku harus
terus kujalani meski harus menutupi tangisku dengan senyum yang pernah diajarkan
ibuku. Ibuku begitu hebat, ia adalah wanita tegar. Ialah wanita pertama yang
mengajarkanku bagaimana menjadi seorang perempuan seperti dirinya.
Ia tahu bahwa ia memang
tidaklah sempurna, masih banyak wanita yang lebih hebat daripada dirinya. Namun
ia selalu menyiratkan kepadaku bahwa hanya ialah yang mampu merawatku lebih
dari sekedar sempurna. Dan aku selalu dibuatnya bangga akan hal itu. Ialah
sesosok contoh wanita jempolan, perempuan nomor satu, ialah pertama dan
satu-satunya yang memberiku kesan bahwa betapa mulianya menjadi seorang wanita.
Hampir setiap hari kutahan
tangis lukaku yang mungkin tak akan sembuh ini, tapi maaf karena aku hanya
mampu menahannya selama matahari belum terbenam saja. Tak lebih. Aku selalu
tersedu di dalam bilik kecilku, berurai air mata, dan tak seorang pun tahu
betapa sakit di dalamnya. Dalamnya telah remuk berkeping lantas berhambur
hingga menyeluruh tubuhku.
Meski ku tak dapat lagi
senyum tawa dengan keluarga kecilku seperti dulu, masih ada mereka yang
menghiburku. Memberikanku harapan yang lain. Walaupun itu tak lagi sama seperti
kebahagiaan dari mereka orang tuaku. Menegarkan dan menguatkan sebisa mereka
dengan berbagai hiburan yang mereka harap dapat membantu.
Merekalah, teman-temanku…
Ya
Allah, terima kasih telah menghadirkan mereka, semua dihidupku terasa lebih
berharga. Aku mampu tertawa lagi, sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan. Aku
menghargai usaha mereka yang ingin mengembalikan Sofia yang dulu pernah mereka
kenal. Mengalihkan perhatian dengan putar haluan agar aku menemukan kebahagiaan
yang lain bersama mereka.
Yang
kutahu rumahku tak lagi lengkap, tapi aku percaya Allah SWT punya rencana yang
lebih indah. Mereka hanya melepaskan status diri mereka, tidak lagi menjadi
suami dan istri. Tetapi aku yakin mereka tidak akan pernah melepaskan posisi
mereka sebagai orang tua, sebagai ayah yang tangguh dan ibuku yang begitu
hebat.
Terima
kasih untuk ibu yang hebat ini…
Bersyukurlah
kalian yang masih bisa melihat ayah dan ibu kalian hidup dalam satu rumah, dapat
bersenda, dapat bergurau bersama. Karena kalian satu atap bersama mereka.
Sungguh waktu yang tidak ternilai dengan apapun. Kalian beruntung.
Sayangi
mereka selagi bisa, mereka berharga. Sangat berharga bahkan…
Aku
berharap di ulangtahunku yang ke 17 nanti aku mendapatkan ‘kesempatan’ untuk
bisa merasakan sekali saja berkumpul dengan ‘keluarga kecilku yang lengkap’
meski hanya dalam satu jam saja. Dan merasakan bagaimana kebahagiaan yang dulu
dapat berkumpul kembali lebih dari sekedar selamanya.
Walaupun
itu tidaklah mungkin…
Dari Ia
yang selalu mengidolakanmu sebagai pedoman hidup, Sofia..
Teruntuk
ibu yang terhebat yang pernah ada yang pernah aku miliki semumur hidupku, Ibu
:*
Oleh : SAM98 (Minggu, 2 Oktober 2015 21:48:00)
0 komentar:
Posting Komentar