Rayuan Pulau Kepala
Aku…
Sebangai
seorang aku, tentu aku hanyalah aku. Maka sebut saja aku dengan aku. Dimana perbatasan
hebat diantara darat dengan laut dan laut dengan darat. Indahnya aku, adalah
nirwana dunia yang lengkap dengan bidadarinya dalam bungkus kemasykuran yang
prima. Aku dengan bidadari itu dapat menjadi pengikat pelindung tanaman surga
yang tertancap nyata dengan berbagai kenikmatannya yang ada. Tanaman surga,
yang bernyawa, bergerak, lepas, bebas. Surya dan senja jua senantiasa datang,
mampir kepadaku setiap waktu. Tanpa jeda. Tanpa syarat. Eloknya aku sebagai
negeri nan mulya akan sumber dayanya, membuatku dipuja bangsa sejak dulu kala.
Lebih
dari itu, aku dan bidadariku sampai dapat melambaikan nyiurnya sebagai rayuan
manja, salam dari daerah makmur dengan kesuburannya. Satu kata untukku, Mulya,
karena sahaj yang tercipta dalam balutan romansa alamnya. Nuansa bening di
antara atmophere sedu sedannya seorang penantang jiwa. Mengantarkan ku ke sebuah suasana pra
sejahtera. Hingga Dewa pun menyebutku sebagai seorang Raja Klana.
Ketenaranku pun akhirnya dapat terdengar dimana-mana. dari pusat kota hingga ke pelosok desa rupanya. simpang siurnya pendapat warganya membuatku memiliki anggapan yang berbeda pada setiap sumbernya. Sampai
pada akhirnya, rayuan dan kemakmuranku dan bidadariku ini mengundang banyak
pendatang baru. Merekalah bidadara. Tampak senang dengan keadaannya yang
berbeda. Tidak sama. Namun semua telah berpindah haluan. Keluar dari orbitnya
masing-masing. Bidadara itu menghancurkan semuanya. Tanpa sisa. Yang ada
tinggal kepala-kepala tanpa rupa. Bergelantungan dimana-mana
Rayuan
pulau kepala, bukan lagi rayuan pulau kelapa yang indah katanya. Hanya ada
mereka-mereka penghancur dunia, perusak alam semesta. Yang hilang di telan
masa. Dan semuanya drastis dramatis, seketika sirna. Kepala-kepala dengan
riangnya menumpas apa yang ada, bukan ada apanya.
0 komentar:
Posting Komentar