Langit Makin Mendung
Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di
surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan
diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan
bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut.
Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun
tanpa henti.”
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan
kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah
penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa
memanggilnya Muhammad saw..
“Daulat, ya Tuhan.”
“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta,
sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang
platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama,
sama rasa sama rata!”
“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah
melimpah-limpah.”
“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara
bermekaran.”
“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat
sekali.”
Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban
cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan
segala yang indah-indah!”
Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya
jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu
mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya
sekeping jiwa telanjang.
“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan,
kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”
“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.
“Tentang apa?”
“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”
“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau
tak salah?”
“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana.
Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata
model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.
“Bagaimana, ya Tuhan?”
“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar
berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”
“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”
“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”
“Dan yang mati?”
“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja
iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”
“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening
sedikit mengerut.
“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu
nisan masing-masing.”
“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya
Tuhan!”
“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”
“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni
jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar,
Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”
Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh
kebapaan.
“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang
itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom
sudah punya bom atom, kau tahu!”
“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom
atom).
“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di
sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling
sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”
“Tidak bisa mereka disogok?”
“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril
serta, supaya tak sesat!”
“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).
***
Sesaat sebelum berangkat, surga sibuk sekali. Timbang terima
jabatan Ketua Kelompok Grup Muslimin di surga, telah ditandatangani naskahnya.
Abubakar tercantum sebagao pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.
“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril
bertanya takzim.
“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Medinah, kau ingat? Ingin
kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Di sini kita hanya kenal dua macam
angka, satu dan tak berhingga.”
Seluruh penghuni surga mengantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu
padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari-bidadari.
Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan.
Nabi Adam as. sebagai pinisepuh tampil di depan mikropon.
Dikatakan bahwa pengorbanan Muhammad saw. merupakan lembaran baru dalam sejarah
manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam
antara penghuni surga dan bumi.
“Akhir kata saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh
Muhammad saw. harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya,
saudara-saudara para suci! Sebagai kaum arrive surga, kita tak boleh melupakan
perjuangan saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis di
neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan
sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif, agar mereka scmua mau ditarik ke
pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad. Hidup persatuan Rakyat Surga dan
Bumi.”
“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.
Muhammad segera naik ke punggung buroq-kuda sembrani yang dulu
jadi tunggangannya waktu ia mikraj.
Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua
terengah-engah mengikuti di belakang.
Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.
“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.
“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya
Rasul.”
“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).
“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi.
Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”
“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa).
Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”
Buroq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan
pedang apinya Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak.
Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak
terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa
sisa. Kepala botak-botak di lembaga aeronetika di Siberia bersorak gembira.
“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak
dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.
Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut
di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.
“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik
sedih.
Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba
berdesir ngeri.
“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi
yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta
rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau
Sodomah dan Gomorah?”
“Hampir sama.”
“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”
“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna
mengganyang negara tetangga, Malaysia.”
“Adakah umatku di Malaysia?”
“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”
“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”
“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”
“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan
muslimat yang tercinta. Tapi tak kulihat mesjid yang cukup besar, di mana
mereka bersembahyang Jumat?”
“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam
catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”
“Aneh. Gilakah mereka?”
“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan
negara tetangga yang se-agama!”
“Aneh!”
“Memang aneh.”
“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku
terlalu rindu pada Medinah!”
“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”
“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku
di Kairo.”
“Sesungguhnya pdukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”
“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan
rendah hati.
“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”
“Apa peduliku dengan nabi palsu!”
“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”
“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku
takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.
“Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih?”
terdengar suara Iblis, disambut tertawa riuh rendah.
Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap
ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di
lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan
berpusar-pusar di laut lepas.
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan
serentak:
“Amien, amien, amien.”
Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan
cambuk petir bersahut-sahutan.
“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri.
Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di
kiri-kanannya.
Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.
***
Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang
kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.
Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata
lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.
Kata orang, sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen
Naspro mati kutu. Hanya politik-politik Cina dan tukang-tukang catut orang
dalam leluasa nyomoti jatah lewat jalan belakang.
Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena
flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkem.
Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkem dipanggil menghadap
Presiden alias PBR.
“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”
“Tidak, Pak.”
“Jadi tidak berbahaya?”
“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”
“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”
Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai
polisi-polisinya. Flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang
bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-nyonya menteri-sampai presiden diterjang
semena-mena.
Pelayan-pelayan istana geger, menko-menko menarik muka sedih
karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.
Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk
minta hubungan rahasia ke Peking.
“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar
kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”
Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh
welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.
“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa
tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”
Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung
manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan
pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit).
Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur
sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah
mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.
Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa.
Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat
tandas-tandas. Kyai-kyai yang hadir tersenyum-senyum kecut.
“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno
sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (Hadirin tertawa. Menertawakan
kebodohan nekolim). Wah, saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-kemudu
melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia ini
akan gampang mereka iles-iles, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti
negaranya Tengku.
“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara,
Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup
gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau
menutup mata sebelum proyek nekolim ‘Malaysia’ hancur lebur jadi debu. (Tepuk
tangan lagi).”
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden
menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.
Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal
hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak
kecil urung disunat.
Dokter pribadinya berbisik.
“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak
kumat-kumat.”
“Menyanyi! Menyanyi dong Pak!” Gadis-gadis merengek.
“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.
Siapa bilang Bapak dari Blitar
Bapak ini dari Prambanan
Siapa bilang rakyat-
Malaysia yang kelaparan …!
“Mari kita bergembira….” Nada-nada sumbang bau champagne.
Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik dengan seorang
menteri.
“Gembira sekali nampaknya dia.”
“Itu tandanya hampir mati.”
“Mati?”
“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba
saatnya.”
“Tapi kami belum siap.”
“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”
“Tunggu saja tanggal mainnya!”
“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram
satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam ‘Kembang Kacang’ dibawakan
nenek-nenek kisut 68 tahun.
“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.
Kemudian tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului
kaki-kaki setengah lemas; beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir.
Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai
mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari
kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh
anak istri di rumah.
Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga.
Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi
manusia dan bukan anjing!
***
Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari
mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk
gelandangan di atas tanah milik Cina.
Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri
jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan
pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.
“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan
sayap.
“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa
prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus
kesal.
“Apa benar yang paduka risaukan?”
“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia?
Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk umatku!”
“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu
penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”
“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”
“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”
“Buat apa?”
“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”
“Tapi tetap di luar manusia?”
“Ya, untuk mengikuti gerak hati dna pikiran manusia justru sulit
bila satu dengan mereka.”
“Aku tahu!”
“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita
cepat!”
“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu Jibril. Mari kita
keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”
Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu
menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.
Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung,
busuk dan mesum.
Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu
Nabi hinggap di atas atap seng, sementara Jibril membuat lingkaran manis di
atas gerbong-gerbong kereta Daerah planet.
Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak
penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.
Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi
palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta
mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di
sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci
lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok.
Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat
di ranjang reot.
Di kamar lain, bandot tua asyik… di atas perut perempuan muda 15
tahun. Si perempuan … dihimpit sibuk cari … dan … lagu melayu.
Hansip repot-repot …
“Apa yang Paduka renungi.”
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas
berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru
revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu
sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada
kiai-kiai di sini? Berzina, laangkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”
“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila
hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”
“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”
“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari
pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”
“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.
“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”
“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba.
Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Penyair gila! Cabul!”
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru
membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah
bermuram durja.
Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet
tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya
ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan
kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral
sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti
tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu
rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang
mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul,
menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.
Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”
“Orang tadi mencuri tidak?” Pandangan Nabi penuh selidik.
“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”
“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya
dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”
“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”
“Toh, bisa diimpor!”
“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk
perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”
“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”
“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”
“Negara kapir itu?”
“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan
dolar.”
“Sama jahat keduanya pasti!”
“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”
“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.
“Ya, dunia sudah tua!”
“Padahal Kiamat masih lama.”
“Masih banyak waktu ya, Nabi!”
“Banyak waktu untuk apa?”
“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”
“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun
kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”
Kedua elang terbang di gelap malam.
“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana!
Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”
“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”
Sebentar kemudian di atas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka
bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.
“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”
“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri
merangkap pentolan mata-mata.”
“Sebetulnya siapa menurut kamu?”
“Dia hanya Togog. Begundal raja-raja angkara murka.”
“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”
“Dokumen.”
“Dokumen?”
“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”
“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”
“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”
“Ooh.”
Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul
makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger
dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu.
Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil
telanjangi komplotan satria-satria pengaman Baginda Raja.”
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan
Senayan.
“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”
Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda Tua hampir mati,
raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin
mati kutunya.
Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
“Apa kabar Yang Mulia Togog?”
“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top
secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel
AD.”
“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan
laboratoris…?”
“Baik, baik Yang Mulia” Pura-pura ketakutan.
“Nah, kan begitu. BPI-Togog harus disiplin dan taat tanpa
reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi
yang belum selesai!”
“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”
“Jadi kapan selesai?”
“Seminggu lagi, pasti beres.”
“Kenapa begitu lama?”
“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik
detektif.”
“Bagus, kau rajin meng-up-grade otak. Soalnya begini, saya mesti
lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR.
Gimana?”
“Besok juga bisa, asal uang lembur…,” sembari membuat gerak
menghitung uang dengan jari-jarinya.
Togog meluruskan seragam-dewannya. Dan gumpalan uang puluhan
ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya
punggung pembantunya.
“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan
antek-anteknya dalam negeri.”
“Siapa mereka?”
“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas
toh?”
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar
atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni
markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.
Syahdan desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat
jembel dan kakerlak-kakerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa
mengunyah lagi.
“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup,
bukti-bukti lengkap di tangan partai!”
***
Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno
tidak jadi lumpuh, pincang sedikit cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang
mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda
dan segar.
Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah
sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin
getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa
jumlahnya.
Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu berdua di Bogor. Briefing
dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak
lampias.
“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.
“Akh, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”
“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”
“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka
putar otak dan bakar kemenyan.”
“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”
“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu
pasti!”
“Apa katanya?”
“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid…!”
“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan
embel-embel –. Dia tidak berbahaya lagi.
“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army
friends’.”
“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”
“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita–
kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”
“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas
dari tekanan Amerika.”
“Kenapa begitu?”
“Formil kita berhadapan dengan Inggris-Malaysia. Sesungguhnya
Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian
tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!”
“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara
cemas.
“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka
khawatir Amerika menjamah negeri ini. “
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu
mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya
pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang
terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan
Cina yang tak laku di pasaran.
Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh
Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.
“Togog, panggil Duta Cina kemari. Sekarang!”
“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu
semua kalau kamu takut.”
Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam
dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di
Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual
bakso. Dia cuma pakai piyama, mulutnya berbau angciu dan keringatnya berbau
daging babi.
“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina
itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.
“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri
leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi.
Ngerti tuh?”
“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi
dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai
jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau
bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”
“Gimana ini, Togog?”
“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi
perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.
“Jelasnya?” tanya PBR dan Duta Cina serentak.
“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya
Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang
pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”
“Kami tidak memaksa, Bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”
“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”
“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya
alasan berbuat nekad.”
“Nekad bagaimana?” Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.
“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher
semua Cina-cina WNA.” Menggertak.
“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”
“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”
“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka
berangkul-rangkulan.
“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”
“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”
“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang
malaysia?”
“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut
hanya menguntungkan RRC.”
“Yani ragu-ragu?”
“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan
mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”
“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”
“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa
tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau
gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”
“Bagaimana itu?”
“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan.
Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada
analisia buatan Togog.
Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang
haus, penjual obat pinggir jalan, ia berpidato. Ia sering lupa mana propaganda
dan mana hasil gubahan sendiri.
“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan
PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah…
dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan
musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara. Soekarno-Subandrio-Yani dan
rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi.
Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London
dan Washington.
“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut
demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban
jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara
Saudara-saudara.”
Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri
berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar
ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.
Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku
sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah
dijahit perempuan-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh
rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.
Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya
yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu
algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara
politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti melek politik, di Jakarta
tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.
“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh,
mana yang benar?”
“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”
“Pak Yani, tentu.”
“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”
“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.
“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa
dibocorin.”
“Dia nggak takut mati?”
“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia
ganyang!” suara sember menyela lagi.
Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak
Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.
***
Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan
PBR ke Peking.
“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan
ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik
ngobyek cari rejeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.
Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir
hanya tekstil, korek api, senter, sandal, pepsodent, tusuk gigi dan
barang-barang lain bikinan cina.
Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di
atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak
mau makan lain kecuali beras.
“Padahal saudara-saudara. Saya tahu banyak sekali makanan
bervitamin selain beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot, dan bahkan
kadal justru obat eksim yang paling manjur. Saya sendiri dikira makan nasi tiap
hari? Tidak! PBR-mu ini cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan
sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”
“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia
lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk
seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum
sarapan jagung.”
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang
makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.
Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya
pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti
panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia
memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur
sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel
kiriman Kosygin dari Moskow.
Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang
presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata
memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut
dengan dada lapang.
Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung,
sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.
Oleh: Ki Pandjikusmin
Diduga sebagai nama samaran dari seseorang yang hingga kini belum terungkap. Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra Thn. VI. No.8, Edisi Agustus 1968 dan dianggap menistakan agama karena mempersonifikasikan Tuhan, Nabi Muhammad, dan Malaikat Jibril. H.B. Jassin sebagai Pimred Majalah sastra menolak untuk mengungkap jati diri Ki Pandjikusmin, sehingga ia dituntut Pengadilan Tinggi Medan dan divonis in absentia berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun.
Diduga sebagai nama samaran dari seseorang yang hingga kini belum terungkap. Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra Thn. VI. No.8, Edisi Agustus 1968 dan dianggap menistakan agama karena mempersonifikasikan Tuhan, Nabi Muhammad, dan Malaikat Jibril. H.B. Jassin sebagai Pimred Majalah sastra menolak untuk mengungkap jati diri Ki Pandjikusmin, sehingga ia dituntut Pengadilan Tinggi Medan dan divonis in absentia berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun.
sumber : http://indonesiasastra.org
0 komentar:
Posting Komentar