DIANTARA KITA DAN PELANGI
Cerpen Karya Nurasiyah
Pelangi
punya cerita tentang kita, pelangi mengerti semuanya, tentang aku yang selalu
merindu. Tentang aku yang selalu berharap kamu kembali disampingku, pelangi
juga tahu betapa besar rasa cinta yang ku punya untukmu hingga saat ini. Aku
teringat saat pelangi di tepi pantai itu masih bisa kita nikmati bersama, kita
bermain dalam hujan yang penuh berkah. Aku bahagia pernah mengenal pelangi yang
baru di hidupku, kamu tahu itu siapa? Itu adalah kamu. Kamu yang selalu setia
memberi warna di setiap helah nafasku, bedanya kamu dengan pelangi yang lain
adalah kamu selalu ada di sampingku, sedangkan pelangi yang lain ada di langit
yang selalu berusaha mewarnai hidup orang lain menjadi lebih bermakna.
“ada pelangi disana” ungkapnya saat itu.
“dimana? Aku tak melihatnya”
“pelangi itu ada di dekatmu”
“dimana”
“pelangi itu ada di bola matamu” ungkapan gombalnya saat itu.
Aku
terdiam sejenak dan mencubit hidungnya hingga merah seperti jambu air,
gombalannya membuatku tersipu malu. Ku pikir saat dia akan pasrah dengan
cubitanku, ternyata dia membalas dengan mencium tepat di keningku. Ciuman yang
kata orang adalah ciuman tanda kasih sayang. Aku percaya itu dan aku percaya
dia yang menyayangiku. Hari itu aku merasa dia sangat berbeda, dia seakan
memperlakukanku seperti orang yang tak bisa dia temui lagi.
“kamu kenapa? Kok aneh” tanyaku dengan nada keheranan.
“aku tak apa-apa, aku ingin membuat hari ini lebih indah saja dan itu
bersamamu.” Jawabnya dengan senyuman dan mata yang berbinar.
Bias pelangi semakin memberi arti, jejak warnanya menawarkan keistimewaan yang
sangat luar biasa. Mendengar jawaban darinya tadi, aku hanya bisa
mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa aku mengerti.
“aku beli minum dulu yah” ucapku padanya sebelum aku melepaskan genggaman
tangannya dari tangan kananku.
“jangan lama, segera kembali dan temui aku disini.” Ucapnya dengan nada letih.
“aku pasti cepat kembali, tunggu aku disini.” Selepas itu aku melangkahkan kaki
ke tempat penjual minuman di sekitaran pantai. Dalam perjalanan aku mencoba
menebak maksud dari perkataannya tadi. “ah sudahlah” kataku sambil berlari ke
arah pantai yang berlawanan darinya.
minuman sudah ku dapat, aku harus kembali menemuinya di pinggir pantai, aku
berlari.
“Finoo, kamu kenapa?” aku melepas minuman yang telah aku beli di pinggir pantai
sana, seketika pandanganku beralih pada fino yang berbaring tanpa kehidupan di
pinggir pantai, aku bingung harus melakukan apa. Aku hanya bisa menangis dan
terus berusaha membangunkan fino.
“tolong..tolong..” teriakku dengan harap akan ada pengunjung pantai lain yang
mendengar suaraku.
“dia kenapa?” tanya lelaki setengah paruhbaya yang menghampiriku.
“tolong pak, dia tadi pingsang saat aku pergi untuk membeli minuman” jawabku
dengan air mata yang terus menetes.
“ayo kita bawa ke rumah sakit”
“iya pak”
aku bingung harus melakukan apa, dalam perjalanan ke rumah sakit tangan kiriku
memegang genggaman tangan Fino. Sementara tangan kananku berusaha menghubungi
ayah dan ibu Fino.
genggaman tangan Fino sangatlah bernyawa, aku merasa dia membalas kuatnya
genggaman tanganku. Aku tak kuasa menahan tangis ini, aku merasa menyesal
meninggalkannya di tepi pantai saat itu.
“suster..suster, cepat tangani pasien ini” kataku pada petugas rumah sakit
dengan rasa cemas yang tinggi.
ku lihat tubuh Fino terlentang tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, aku
bingung.
“Apa yang harus ku lakukan sekarang?” ucapku.
“doakan Fino, itu yang harus kamu lakukan.” Suara Ibu Fino mengagetkanku.
“tante, sebenarnya Fino kenapa?” jawabku sambil meronta.
“memangnya Fino tidak cerita?”
“tidak tante, sebenarnya ada apa?”tanyaki dengan egois.
“Fino sakit kanker kelenjar getah bening, sudah lima kali Fino kemhotheraphy,
tapi hasilnya tetap saja tak ada perubahan.
“kenapa Fino tidak pernah cerita tan?” tangisku semakin meluapkan kesedihannya,
aku merasa menjadi kekasih yang tak berguna. Disaat kondisi Fino yang sakit,
aku tak tahu sedikitpun.
“Fino tak ingin kamu meneteskan air mata.”
Tangisku semakin meluap, tetes demi tetes telah terjatuh di bawah lantai rumah
sakit. Aku semakin bingung dengan situasi seperti ini. Dokter telah keluar dari
ruangan UGD, tak butuh waktu lama aku langsung menyelinap masuk kedalam ruangan
itu. Ku buka pintu berwarna coklat itu dengan hati-hati. Lensa mataku seketika
menangkap Fino berbaring tak berdaya. Aku duduk di samping Fino, menggenggam
tangannya agar dia merasa aku selalu di dekatnya.
“bangun Fino, pelangi sore tadi belum cukup untuk kita nikmati, sadarlah
sayang. Aku tak sanggup kehilangan pelangi yang ada di bola matamu” ucapku
sambil mencium tangan Fino, namun tak ada reaksi apa-apa. Tanpa ku sadari air
mataku jatuh di antara tulang rusuk dadanya, Fino terbangun.
“kamu bangun Fin?” tanyaku dengan penuh rasa kuatir.
“aku tak apa, sayang. Jangan tumpahkan air mata itu. Aku tak suka.” Fino
menghapus air mataku dengan tangannya yang terselubung infus.
“aku gak nangis kok.” Aku berusaha menguatkan diriku.
“senyum sayangku, tetaplah senyum. Jika suatu saat aku tak ada disampingmu
menikmati pelangi di pinggir pantai, aku harap senyummu selalu terpatri laksana
lengkungan pelangi itu. Jangan ada duka, jika aku pergi artinya aku menunggu
kamu di dunia yang lain dengan pelangi yang lebih indah. Aku berjanji.” Ucap
Fino dengan lembut.
“aku memeluknya dengan keadaan berbaring, aku akan tetap senyum Fino, dan
semuanya karenamu.” Tuturku dengan ketulusan.
“Fin?” aku menggoyangkan badan Fino.
“dok..dokter, Fino kenapa?”
seketika dokter datang dan memeriksa Fino. “Fino telah tiada, cepat hubungi
orang tuanya” kata dokter itu.
Aku tak percaya, pesan itu menjadi pesan terakhir Fino untukku. Aku tak percaya
pelangi yang kemarin adalah pelangi yang terakhir ku saksikan bersamanya.
Pelangiku telah beranjak pergi meninggalkanku, jauh dan lebih jauh lagi. “Jika
esok ada pelangi, apakah jiwamu masih tetap bersamaku Fin?” tuturku dengan
terbata-bata.
Hari ini aku menyaksikan kamu beranjak pada keabadian, puluhan orang yang
berbaju hitam telah mengantarmu ke singgasana abadimu. Hanya nisanmu yang
menjadi tempatku bersandar saat ini, aku kehilangan bahu yang yang biasa
menopangku ketika aku letih. Aku kehilangan genggaman tangan yang biasa
menenangkanku dalam gugup, aku kehilangan senyum yang menjadi jamuan terindah
dihatiku, aku kehilangan semua itu. Maaf jika sampai saat ini aku masih
menangis, aku mengantarmu dengan tangisan, tangisan yang tak bisa ku
sembunyikan. Aku tak pernah berharap banyak lagi dengan pelangi. Pintaku,
jangan sampai pelangi kembali memisahkanku dengan orang yang kusayang, karena
aku ingin menikmati pelangi hingga warna terakhir dengan seseorang yang Fino
kirim dari surga, aku akan tetap tersenyum menyambut pelangi baru di hidupku,
hidup yang baru dengan cinta yang abadi.
Dari balik pelangi,
aku berjanji sepenuh hati
senyumku akan tetap ku persembahkan teruntukmu
pelangi yang abadi di hatiku, tenanglah disana sayang...
0 komentar:
Posting Komentar