Aku
adalah seekor Burung. Dengan dua buah sayap di kanan kiriku yang kupergunakan
berjalan menuju kehidupan. Tak hanya itu, aku juga mempunyai bulu – bulu yang
tebal. Yang menyelimuti seluruh permukaan kulitku. Seperti kelopak bunga yang
melindungi putik pada bagian dalamnya.
Pada
siangnya yang terik, aku menjelma menjadi seekor burung yang hinggap di atap –
atap rumah. Dimana malamnya, atap itu akan berubah menjadi sebuah ruahan
lolongan kesedihan roh yang berpisah dengan penghuninya. Namun tidak ada hal
apapun yang benar – benar bisa menyuarakan hal tersebut.
Sepanjang
malam, aku begitu lelah memilih siapa yang dengan rela untuk memberikan
nafasnya. Untuk kupintal bersama cahaya dan ku bawa ke angkasa. Hingga pada
akhirnya, aku adapat menemukan seberkas Angin yang berjalan begitu mendayu.
Lalu memangkuKu sendiri di atas ayunannya yang memabukkan. Semacam menjadi
candu yang tak bisa lagi kutolak. Tarikannya begitu kuat, tetapi tetap saja
menciptakan sebuah kehangatan yang begitu berarti bagiKu.
Aku
terpuaskan, dengan melebarkan sayap. Ku kepakkan dan aku pun melesat tinggi
menjulang. Angin itu mampu membuatku terbang bebas, tanpa arah yang pasti.
Semakin tinggi, tinggi, dan tinggi lagi. Nan menciptakan kolaborasi menawan
dari nyanyian kicau yang terlontar dari paruh kecilku. Di sambung dengan tarian
gemulai dari angin yang selalu membawaku pergi.
Angin
itu mengajakku terbang ke atas secra konstan. Terbang dalam sebuah kebersamaan,
mangajariku menitih sebuah kehidupan yang baru. Dengan merasakan lembutnya
berbaring di atas awan, nikmatnya berdansa di atas kilauan pelangi, duduk di
singggah sana bintang berlian, dan melihat betapa kuasa Tuhan menciptakan
sebuah lukisan nyata yang tergambar aipk di atas kanvas alam semesta ini.
Inilah
masa kejayaanku sebagai seekor Burung. Aku merasa menjadi sesuatu yang sangat
spesial. Merasa saling mencintai dan di cintai. Dengan percaya dirinya, aku
lebarkan sayapku, menguatkan cenghkraman cakarku, menguakkan seluruh isi
hatiku, dan mendongakkan leherku sambil menajamkan pandangan ke berbagai sudut
ruangan.
Hingga
tiba waktunya, ada sebuah Api yang datang menghadang. Merenggut angin – angin
surga yang kumiliki secara perlahan. Membakar bulu – bulu halusku pada semua
bidang. Tak kuasa aku dalam menghadapinya, aku pun tumbang di atas abu
pembakaran sisa – sisa buluku yang lain. Nyeri rasanya, kaku dan tak dapat
dipergunakan kembali. Di depan sana, Anginku terbawa pergi oleh Api yang
meluluhlantakkan segalanya.
Setelah
angin itu pergi, kini ia meninggalkan sisa bakarannya pada sayapku. Aku hanya
bisa mengandalkan cakarku yang mulai mengisut untuk dapat berjalan, walaupun
itu masih saja tertatih. Sepertinya, Anginku itu lebih memilih menjalani hidup
barunya bersama dengan Api yang terus terkobar. Menciptakan goresan luka yang
sepertinya membutuhkan waktu cukup lama untuk dapat mengering secara sempurna.
Aku
merasa kematian sudah mulai masuk secara perlahan melalui pori – pori dan
lubang kejayaanku. Di setiap detik aku mengingat Angin itu, aku selalu
terbayang oleh senja hitam yang membakarku kemarin. Ataupun tebaran abuku
sendiri yang berjalan ke angkasa, meninggalkanku seorang diri. Maafkan, aku
tidak punya lagi kematian yang harus kau ambil. Tetapi, kau boleh mengambil
rohku kapan saja. Kalaupun kau mau, nanti malam sekalipun…
Mengapa
semuanya berulang kembali ??? bahkan pencabut kesedihaku pun ikut membohongiku.
Apakah rohku benar – benar diutus untuk terus menerus dikelabuhi ??? Angin, kau
telah pergi, dan membuat mimpi – mimpiku pun pecah.
Sebagai
seekor Burung, tentunya aku merasa sangat terhina. Kini, sayapku cacat dan
tidak dapat berfungsi kembali. Aku hanya bisa bertengger di atas ranting kecil
atau sekedar berjalan menuju dahan kering sebuah pohon yang berpayungkan
kesunyian. Tanpa bisa menepakkan lagi sayap kebangganku. Sambil terus menunggu,
menunggu, dan menunggu. Berharap, berharap, dan berharap lagi.
Entahlah,
apa yang sebenarnya sedang aku tunggu ??? menunggu kematian kah ??? menunggu
sebuah kematian yang datang seiring dengan daun kering itu. Jika daun itu
berjatuhan setiap harinya, maka aku merasa semakin berkuranglah satu
kehidupanku. Karena roh yang aku bawa akan menempel pada daun tersebut.
Atau
kan aku sedang menunggu songsongan Angin yang baru ??? yang menyodorkan pelangi
harapan di tengah adanya badai hati. Mengulangnya kembali dari awal.
Mengajariku terbang kembali dari awal. Mengajariku terbang kembali di saat aku
yang sedang tertatih ini. Layaknya bayi lumba – lumba yang sedang belajar cara
berkedip atau sekedar membuka mata kepada sang induk yang memang lebih
berpengalaman.
Sering
kali aku memancing, agar Anginku yang dulu dapat kembali. Sudah kutebarkan
cinta yang tulus sebagai unpannya. Namun, lagi – lagi hanyalah perolehan nilih
yang ku dapatkan. Dengan berat hati, aku mencoba untuk membuka pintu kepada Angin
– angin yang lain. Memberikan kesempatan baru untuk mencoba terbang kembali
bersama mereka.
Banyak
Angin baru yang datang menghampiri, mengajakku untuk terbang merasakan
‘kelembutan’nya itu. Saat benar – benar ku coba, suasananya sangat berbeda.
Memang benar aku dapat terbang, namun sering kali aku oleng dan tak
terkendalikan. Padahal, sudah benar kupastikan bahwa sanya sayapku baik – baik
saja.
Tekanan
angin yang berbeda, membuat sensasinya pun tak sama. Ku coba dengan angin yang
lain lagi, tetap sama, tidak ada yang bisa membuatku merasa nyaman akan
keseimbangannya. Tidaka ada yang seperti dulu. Angin yang bisa membuatku
terbang tinggi, secara seimbang. Angin lama itu yang salah, dia pergi dengan
meninggalkan luka kepedihan, tanpa pernah kembali lagi.
Aku
melihat dari luar sana banyak sesamaku yang menjalani hidupnya sesuai dengan
kodrat dan lingkar kegidupannya masing – masing, tanpa mernah mengeluh barang
sedikit pun. Ikan yang bergoyang dengan sirip dan dibantu dengan dorongan dari
ekornya. Serta kijang yang dengan bangga berlari kencang memamerkan keempat
kakinya yang kokoh. Ataupun ulat yang
berjalan dengan 1000 kaki semunya. Semuanya berjalan dengan pasti. Terkecuali
aku, yang masih dengan keabu-abuan … kelabu…
Sebenarnya,
siapakah diriku ini ??? selama ini aku merasa menjadi seekor Burung Rajawali.
Yang mempunyai paruh yang tajam, cakar yang kuat, sayap yang kokoh, dan bulu
peredam suara yang lembut. Semuanya tampak sempurna. Kecuali satu hal yang
membuatku cukup janggal. Mungkinkah seekor Rajawali, sebagai raja dari kawanan
sejenisku, tidak mampy terbang dengan baik tanpa adanya seberkas Angin ???
Bukankah
seekor Rajawali mampu terbang madiri dengan kedua karuniaNya yang Maha Dahsyat
??? Bukankah Angin itu terlahir dari
kepakan kedua sayapku ??? Bukankah Angin itu adalah udara yang bergerak ???
Jadi selama ini kubutuhkan bukanlah Angin… Namun, udara… Jika memang benar demikian,
apakah jati diriku yang sebenarnya ???
Terkadang,
aku suka berkaca di atas sungai di pinggir desa. Memang benar di sana tergambar
dengan jelas perawakan keRajawalianku. Yang terlihat sangat sangar dan penuh
dengan kebengisan. Namun, di saat siangnya yang terik, bayang – banyangku
terlihat seperti seekor Kutilang yang senang bersiul di atas pucuk cemara
sepanjang hari. Kadang juga seperti burung Pipit yang seka memakan biji padi
milik Pak Tani dengan paruhnya yang teramat tebal.
Aku
tak ingin melepaskan diriku yang sekarang. Aku terlanjyr nyaman dengan menjadi
seekor Rajawali. Namun aku juga tidak bida terus menerus berjalan di tempat
yang sama. Aku juga harus berlari. Tapi, aku tidak akan bisa berlari jika aku
tetap menjadi seekor Rajawali. Aku selalu terbanyang pada kenangan indak
bersama sang Angin. Aku harus menjadi burung yang baru. Individu baru, jati
diri baru, dan masa depan yang baru pula. Mungkin dengan jati diri yang baru,
aku bisa menjadi lebih baik lagi…
Kini,
aku ingin menjadi seekor Merpati. Seekor burung kesetiaan yang mampu terbang
tinggi secara mandiri. Aku akan terbang menembus Angin dan bergarap untuk dapat
bertemu dengan Merpati lain dan bahagia bersamaNya……..
Selamat Jalan ANGIN...
Selamat Datang UDARA...
Karya : SAM98 (Minggu, 8 Desember 1013. 22:30:47)
0 komentar:
Posting Komentar