Kamis, 05 Maret 2015

Monolog Anekdot


Rayuan Pulau Kepala

Aku…
Sebangai seorang aku, tentu aku hanyalah aku. Maka sebut saja aku dengan aku. Dimana perbatasan hebat diantara darat dengan laut dan laut dengan darat. Indahnya aku, adalah nirwana dunia yang lengkap dengan bidadarinya dalam bungkus kemasykuran yang prima. Aku dengan bidadari itu dapat menjadi pengikat pelindung tanaman surga yang tertancap nyata dengan berbagai kenikmatannya yang ada. Tanaman surga, yang bernyawa, bergerak, lepas, bebas. Surya dan senja jua senantiasa datang, mampir kepadaku setiap waktu. Tanpa jeda. Tanpa syarat. Eloknya aku sebagai negeri nan mulya akan sumber dayanya, membuatku dipuja bangsa sejak dulu kala.

Lebih dari itu, aku dan bidadariku sampai dapat melambaikan nyiurnya sebagai rayuan manja, salam dari daerah makmur dengan kesuburannya. Satu kata untukku, Mulya, karena sahaj yang tercipta dalam balutan romansa alamnya. Nuansa bening di antara atmophere sedu sedannya seorang penantang  jiwa. Mengantarkan ku ke sebuah suasana pra sejahtera. Hingga Dewa pun menyebutku sebagai seorang Raja Klana.
Ketenaranku pun akhirnya dapat terdengar dimana-mana. dari pusat kota hingga ke pelosok desa rupanya. simpang siurnya pendapat warganya membuatku memiliki anggapan yang berbeda pada setiap sumbernya. Sampai pada akhirnya, rayuan dan kemakmuranku dan bidadariku ini mengundang banyak pendatang baru. Merekalah bidadara. Tampak senang dengan keadaannya yang berbeda. Tidak sama. Namun semua telah berpindah haluan. Keluar dari orbitnya masing-masing. Bidadara itu menghancurkan semuanya. Tanpa sisa. Yang ada tinggal kepala-kepala tanpa rupa. Bergelantungan dimana-mana
Rayuan pulau kepala, bukan lagi rayuan pulau kelapa yang indah katanya. Hanya ada mereka-mereka penghancur dunia, perusak alam semesta. Yang hilang di telan masa. Dan semuanya drastis dramatis, seketika sirna. Kepala-kepala dengan riangnya menumpas apa yang ada, bukan ada apanya. 

0 komentar:

Posting Komentar