Senin, 25 Januari 2016

Kisah Seekor Lalat

Sobat, coba kau simak semut-semut itu. Apa yang dapat kau lihat ?? Apakah hanya segerombolah hewan-hewan kecil berwarna hitam ?? Lebih dari itu, hewan ini sangat istimewa. Ia dapat mengalahkan seekor gajah yang besar tubuhnya beribu-ribu kali lipat dari biasanya.
Jika kau lihat lebih dekat, ada satu hal yang membuat semut itu sangatlah unik, berbeda dengan hewan-hewan pada umumnya. Dia sangat senang bertegur sapa, saling bersalaman. Dimana pu mereka bertemu, pasti mereka akan singgah –barang sejenak- untuk mengatakan “Halo”.
Mungkin inilah yang membuat Allah SWT memnerikan rahmat yang begitu besar kepada si semut. Sehingga memerintahkan kita agar tidak membunuh semut. Tidak hanya itu, Allah SWT juga akan menindak tegas setiap umatnya yang dengan sengaja membunuh semut-semut itu.
Sungguh Tuhan benar-benar telah bermurah hati terhadap setiap makhlukNya. Betapa tidak, dia menciptakan segala yang ada dengan kelebihan lengkap pula dengan kekurangan yang ia miliki. Menganugerahkan kasih abadi yang tidak akan pernah habis. Hingga membuta pijakan untuk ciptaannya. Pada tempat yang sangat prestesius, bernama alam semesta.

Berbicara mengenai kemuraha hati, Tuhan memang sangat adil. Menciptakannya dengan 1001 kelebihan dan 1 kekurangan. Cintanya pun tak akan pernah surut laksana sumber mata air di atas hulu pegunungan, walaupun kemarau melanda sekali pun.
Kau tahu, hingga kini sepanjang hidupku aku masih belum menjumpai dimana Tuhan mendapatkan cintaNya tersebut. Setiap took yang kutemui selalu tidak menjual menu yang disebut dengan ‘Kasih Tuhan’ itu. Ah sudahlah !!!
Mungkin saja Tuhan tidak harus membelinya. Bisa jadi dia memproduksi sendiri kasihnya. Hingga kelak esok hari kasihNya itu tak akan pernha surut.
Aku adalah seekor hewan insekta. Ya, tentu saja. Aku memiliki 3 pasang kaki, sepasang sayap, dan sepasang antenna sebagai aksesorisnya. Aku juga memiliki dua buah mata yang berukuran raksasa, sangat besar jika dibandingkan dengan sejenisku.
Oh iyah, aku pun senag sekali hingga di daerahmu. Namun daerah yang begitu kau senangi, sehingga kawan sebayamu dapat membunuhku begitu saja. Semuanya, tanpa sisa. Hanya dengan menepukkan telapak tangan, hancur sudah badanku terlumatkan olehnya.
Aku mati dalam keadaan yang begitu tragis. Miris memang, terbujur kaku dalam keadaan kepala yang gepeng, isi perut yang terburai, badan yang tak berbentuk, dan berbagai macam lainnya yang tidak bisa aku ungkapkan. Karena memang kenaasan kaum ku ini. Tak hany itu, setelahnya kamu pun biasanya langsung menempelkanku begitu saja di atas dinding rumahmu. Sehingga aku akan meninggalkan bekas coklat kehitaman, karena darah dari tubuhnya sendiri.
Sebegitu hinanya kah aku dimatamu ?? Hingga dengan sangat keji kau membantaiku tanpa ampun. Bahkan di restoran pun, aku disebut-sebut sebagai hewan yang sangat menjijikan. Tempat yang diberikan rahmat oleh Tuhan, sebagai daerah isi ulang energy bersubsidi, hanya labelnya belaka. Karena bagi kami, tempat itu adalah neraka.
Kami mati dengan berbagai cara. Mulai dari dipukul, diceples, ditabok dengan alat bantu, hingga mati dalam keadaan mongering pada sebuah perangkap. Manusia begitu cerdas. Membuat benda-benda aneh yang dapat membantu mereka, katanya. Mereka menciptakan benda baru agar aku tak lagi dapat mengganggu.
Benda berukuran besar itu, sangat terang dengan cahaya ultravioletnya. Tentu benda itu sangat menarik bagi kami, berduyun-duyun kami datang, ingin mengetahui apakah gerangan cahaya putih yang berkilau itu ?? Dan di saat kami mendekat, alangkah terkejutnya kami. Tatkala benda itu semakin kuat menarik semakin terang pula cahayanya. Menusuk tajam ke bola mata kami dan membuat kami tak berdaya karenanya.
Alhasil, kami pun pingsan. Balum lagi kami siuman. Tubuh kami telah keras, mongering dengan sendirinya lantaran cahayanya yang sangat terang itu.
Sungguh biadab manusia itu, tega-teganya membunuh kami yang hanya ingin mencari makan, barangs esuap saja. Entah kata apalagi yang akan aku berikan kepada mereka. Umpatan, cacian, makian kah ?? Astaghfirullah !!! aku tidak boleh berkata demikian. Karena kita sesame makhluk Tuhan bukan ?? tak sepantasnya kami mengucapkan hal kotor  yang dilarang oleh Allah SWT.
Kita sama-sama ciptaanNya yang dianugerahi dengan kemampuan untuk berlindung. Beradaptasi digunakan agar kami dapat bertahan hidup supaya kelestarian keturunan kita dapat terjaga –Tidak punah-. Maka aku tidak boleh menyalahkan mereka begitu saja. Mereka melakukan tersebut juga pasti ada alasannya. Mungkin mereka tidak berniat untuk membunuh kami, mereka hanya ingin menjaga diri mereka saja.
Oleh karenanya, jangan menyalahkan kaum kami juga. Kami hanya ingin mendapatkan tambahan nutrisi dari makanan yang ada. Namun beginilah cara kami. Kami ingin jangan anggap kami ini sebagai hewan yang hina. Kami hanya hinggap pada benda-benda yang menarik menurut insting kami begaia kaum insekta.
Ya, tidak seperti manusia. Yang dikaruniai akal dan pikiran sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka kami pun hanya diberikan insting oleh Tuhan agar terlihat serupa dengan manusia –walaupun sebenarnya tidak-
Sobat, tentunya kau sudah tahu bukan siapakah aku ?? Aku adalah seekor lalat, ya lalat. Hewan yang sering dianggap oleh anak kecil yang serupa dengan nyamuk itu. Ya, juga hewan yang dianggap sebelah mata oleh sebagian orang. Hewan yang selalu kau anggap sebagai racun, dan hewan yang sering kau gunakan sebagai detector penanda tempat kumuh dan kotor.
Menurut keturunan klenik dalam ritual jawa, aku merupakan salah satu hewan yang cukup disakralkan. Mereka percaya bahwa lalat sepertiku tak selamanya membawa bibit penyakit. Kau tahu bahwa aku memiliki 6 buah kaki. 3 kaki di sebelah kiri boleh jadi memang membawa bibit penyakit, namun jangan pernah meragukan bagian kaki sebelah kananku. 3 kaki sebelah kananku ini membawa madu-madu sebagai penawar bibit penyakitku tadi.
Jadi mau dimana pun aku hinggap, aku (mungkin) tak akan membawa racun karena aku juga telah membawa penawarnya. Mungkin ini yang membuat Chrisye terinspirasi dengan lagunya yang berjudul ‘Racun dan Madu’ itu. Ah, ada-ada saja…
Sekarang izinkan aku bercerita tentang kisahku. Sebagai seekor lalat tentunya aku terlahir sebagai hewan yang lincah. Senang terbang kian kemari, hinggap sana hinggap sini. Mulai dari tempat terindah seperti kelopak bunga, sekelompok makanan yang nikmat hingga tong sampah yang busuk baunya. Aku tidak tahu bedanya, aku hanya mengikuti keinginanku. Karena sekali lagi, aku hanya dianugerahi sebuah insting hewani.
Aku begitu senang jika aku hinggap ke kelopak bunga yang sedang bermekaran. Warna mahkotanya begitu mencolok, seperti ia ingin memamerkan keunggulan di atas segalanya. Agar kami –para serangga- dapat tertarik untuk mendekatinya. Dan benar saja, aku pun serasa terhipnotis akan magisnya pesona warna cinta itu. Hmmm, sungguh nikmat rasa serbuk sari yang ia hasilkan. Dapat aku lahap habis hanya dalam waktu sekejab. Hahahah !!! Lihatlah, mukakusudah mulai cemong sana cemong sini dipenuhi dengan butiran kuning yang legit dan manis itu. Hmmm…
“Terima kasih, bunga. Serbuk sarimu itu sangatlah nikmat.”
“Benarkah itu, Lalat ??”
“Sungguh, Bunga. Aku tidaklah berbohong.”
“Jika kau suka, kau boleh ke sini setiap hari jika kau mau.”
“Apa ?? Setiap hari ??”
“Ya, setiap hari aku akan memproduksi serbuk sariku itu. Bagaimana ?? Kau mau bukan ??”
“Boleh kah ?? apakah kau tak keberatan ??”
“Tentu saja tidak, lalat. Aku akan sangat senang jika kau setiap hari dapat ke sini.”
“Baiklah, aku akan ke sini pada setiap harinya jika kau tidak merepotkanmu, Bunga.”
“Tenanglah, Lalat. Aku tidak pernah merasa kau repotkan.”
Sejak saat itu pun aku mulai akrab dengan sang bunga. Setiap pagi aku selalu datang untuk mengunjungi bunga itu. Memakan seluruh serbuk sarinya, dan bercerita tentang banyak hal. Hingga pada sore hari aku baru pulang dalam keadaan luar biasa kenyangnya.
Tidak hanya itu, ia pun memberiku tempat yang terindah di sisinya. Ia design mahkota bunganya sedemikian rupa agar aku dapat tinggal dengan nyaman di dalamnya. Cuaca panas tak kepanasan, dan hujan pun tidak kedinginan.
Semua ini berlangsung lama, aku merasakan seperti terdapat sesuatu yang janggal, sesuatu yang aneh, namun nikmat rasanya dapat mengalahkan itu semua. Aku mulai bermetamorfosa menjadis seekor lalat yang baru. Ya, alalt yang baru. Kau tahu, kini aku terlihat lebih monthok, aku pun jauh lebih wangi dan juga terawatt. Pola hidupku kini jauh lebih higienis daripada sebelumnya.
Entah rasa apa ini ?? Aku pun tidak mengetahuinya. Ini baru pertama kalinya aku rasakan. Pergi ke bunga itu, seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Di satu sisi aku tak ingin pergi darinya, aku selalu ingi bersama dengan bunga, kehangatannya membuatku nyaman. Namun di sisi lain, aku juga tidak bisa pergi terlalu lama. Aku juga memiliki kehidupan sendiri.
Oh iyah, seharian bersama dengan bunga rasanya masih kurang saja. Saat aku pulang, hari terasa lama sekali. Kata orang, sejam serasa sehari, sehari serasa seminggi, seminggu serasa sebulan, sebulan serasa setahun, dan. Ah sudahlah…
“Bunga, hari telah menginjak senja.”
“Benarkah kau akan segera pergi, lalat ??”
“Ya, seperti biasa.”
“Mengapa matahari itu bergulir begitu cepat ??”
“Itu yang kau rasa, Bunga ??”
“Ya, setiap hari aku selalu bertanya demikian, lalat.”
“Aku fikir hanya aku seoranglah yang merasakan demikian, Bunga.”
“Apakah yang juga merasakan hal yang sama denganku, Lalat ??”
“Tentu saja.”
“Hmmm…”
“Baiklah, aku harus segera pergi. Sebelum hari benar-benar gulita.”
“Tunggu, lalat.”
“Terima kasih untuk hari ini, Bunga. Sampai bertemu esok hari, aku selalu merindu ceritamu hari-hari. Maka, persiapkanlah cerita barumu untukku pada esok hari.”
“Lalat, aku ingin mengutarakan satu hal kepadamu sebelum kau benar-benar pergi.”
“Ya, silahkan saja.”
“Tahukah, kau begitu istimewa untukku. Istimewa…”
“Istimewa ?? Istimewa bagaimana ??”
“Istimewa, semua yang ada pada dirimu begitu berbeda.”
“Dan ??”
“Dan…”
“Dan ??”
“Ya, tentu saja aku menyukai sebuah perbedaan.”
“Lantas ??”
“Perbedaan.. Aku menyukai perbedaan karena perbedaan itu unik. Dan sebuah keunikan akan melahirkan sesuatu yang baru. Dan itu bagus.”
“Bunga, bolehkah aku bertanya ??”
“Apa yang kau suka dari aku ??”
“Tutur katamu.”
“Satu hal yang belum pernah aku dengar sebelumnya, Lalat.”
“Bagaimana pendapatmu ??”
“Aku tidak mengerti apa yang kurasakan.”
Ya, mungkin hanya itu yang bisa aku katakana kepada bunga saat itu. Bahwa ‘aku tak mengerti apa yang kurasa’.
Sejak saat itu, semua menjadi berbeda. Menjadi lebih manis, menjadi lebih indah, lebih, lebih, dan lebih. Semuanya menjadi serba lebih. Aku menjadi semakin sering singgah ke bunga. Perhatian bunga juga semakin baik. Hingga pada suatu hari bunga memperkenalkanku kepada temannya. Sama, ia juga bernama bunga. Namun bunga ini Nampak berbeda.
Ia jelek, tidak semenarik bunga. Benar memnag ia memiliki kelopakmbunga juga. Namun warnanya telah memudar. Entah apa yang telah terjadi kepadanya. Tapi yang jelas, dia tampak begitu kurang percaya diri. Dia lebih senang menyendiri, dan menjauh dari kawan sebayanya.

Sering kali aku menjumpai bunga itu di sepanjang jalan pulang. Benar memang, dia selalu tampak tak bersemangat. Tampak lemah dan lesu. Di saat bunga yang lain berlomba-lomba untuk mencari perhatian banyak orang. Sedang dia hanya diam termenung diantara jajaran rumput liar dan tumpukan batu yang melingkupi tubuhnya itu.

To Be Continue ..

Oleh : SAM98 (Malang, 26 Januari 2016)

1 komentar:

  1. As reported by Stanford Medical, It's in fact the SINGLE reason women in this country get to live 10 years more and weigh 42 pounds lighter than we do.

    (By the way, it has totally NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to about "how" they are eating.)

    BTW, I said "HOW", and not "what"...

    Tap this link to find out if this little questionnaire can help you decipher your true weight loss potential

    BalasHapus