Minggu, 25 Oktober 2015

Ibuku yang Hebat


Semua yang baru saja dimulai memang selalu indah…
Allah SWT hadir diantara kita, menjelma menjadi kasih yang ia berikan kepada seluruh umat manusia. SayangNya juga ia berikan melalui berbagai macam kenikmatan yang manusia rasakan selama ini. Benar-benar menjadi sebuah anugrah yang teramat luar biasa yang pasti akan dicari.
Tak dapat di beli, karena memang tidak terdapat parameter khusus untuk mengukur satuan dari karuniaNya ini. Tidak dapat dipegang, sebab teramat banyak mukjizat yang diberikan sehingga terlampau kecil tangan kita untuk menangkup semua kebaikanNya. Namun hanya bisa dirasakan, dinikmati, lantas kita syukuri sebagai wujud dari ucapan terima kasih yang tak terhingga.
Ibu…

Ayah…
Pertemuan mereka di kota ini sebagai anak manusia dengan benih kasih sayang yang masih lekat dengan kemurnian diantara mereka.  Setelah sekian lama pergi melanglang buana menunggu sebuah penantian yang tak kunjung menemui titik terang, karena memang terhalang oleh rasa kecocokan. Hingga akhirnya menumbuhkan sesuatu yang mereka panggil dengan sebutan, cinta.
Sampai pada ujung pencarian teman hidup, serius menatap masa depan bersama. Berdua. Saling berpegangan menyongsong hari esok bahagia. Dengan niat dalam hati, yang disimpul dengan ikrar lantang dihadapan penghulu. Serta catatan pernikahan yang mengesahkan perkawinan mereka menjadi lebih kuat ikatannya. Mereka mantap untuk melangkahkan kaki ke jenjang yang lebih tinggi, Pelaminan.
Mereka bahagia, malalui kehidupan selanjutnya bersama. Mereka tersenyum lega, walau pun sebenarnya beban mereka bertambah. Karena mereka sebenarnya satu, hanya saja terpisah oleh dua raga. Pikulan mereka tanggung bersama. Dengan ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai kepala rumah tangga.
Sampai tiba saat aku hadir menjadi warna baru yang menghiasi kehidupan mereka. Melengkapi pelangi perjalanan panjang mereka, sempurna dengan berbagai kesenangan mereka yang lain. Dan aku menghela nafas diantara mereka, membuat mereka menjadi orang tua.
Pasangan bahagia yang membuat mereka semakin betah saja di rumah. Aku yang terlahir diantara mereka keturunan ayah dan ibuku, Sofia Ari Murti. Membawa DNA mereka sebagai bukti bahwa aku lah milik mereka, bukan yang lain.
Tabungan masa dewasa mereka. Akulah sandaran mereka nanti, dan tempat mereka kembali di kala hari tua nanti telah tiba. Sebagai wujud imbal balik rasa terima kasihku atas kasih sayang mereka, walaupun sebenarnya mereka ikhlas merawatku.
Kami bahagia, tertawa bersama. Hidup dalam kasih Allah SWT. Ini adalah benar-benar lembaran yang baru bagi mereka. Akulah yang membuat mereka menjadi pasangan yang lengkap sebagai keluarga kecil. Namun sungguh sarat akan makna kehidupan yang tak dapat mereka dapatkan di luar sana.
Semua begitu damai, semua bahagia. Seakan dunia hanya milik mereka. Mereka pamerkan aku dihadapan keluarga mereka yang lain, sebagai pertanda bahwa mereka telah berhasil menjadi keluarga. Semua juga turut senang. Demikian juga dengan aku, yang belum mengetahui apapun kecuali rasa suka.
Waktu demi waktu menumbuhkanku dalam keluarga kecilku. Masa pula lah yang membuatku semakin mirip dengan mereka. Terkadang mereka dapat melihat diri mereka dalam jiwaku. Membuat mereka Dejavu akan hal-hal yang baru aku lakukan dan yang telah mereka lakukan dulu di masa kecil.
Begitu sempurna kehidupanku, tanpa celah sedikitpun. Aku seolah sebagi kertas putih, masih bersih, lantas mereka goresi kehidupanku dengan tinta keceriaan dari pena emas yang telah mereka simpankan khusus untuk diriku. Atau mungkin sebagai kanvas, yang mereka lukis dengan kebaikan. Lantas setelahnya mereka pajang lukisan itu di ruang tamu, sebagai unggulan yang akan mereka pamerkan kepada orang-orang nanti.
Dengan mereka mengajariku bagaimana cara berdiri, saling bermain seolah tanpa beban, mengajari hidup dalam kesederhanaan, mengajariku bagaimana tertawa bahagia, mereka berusaha menyenangkan hatiku dengan sekedar berjalan-jalan bersama, mengajariku cara berjalan, mengajariku bagaimana menyanyi, mengajariku bersikap ramah, melatihku berani tampil percaya diri di depan banyak orang, mendampingiku hingga aku mengenal bangku sekolah.
Terima kasih telah mengajariku banyak hal…
Tetapi entah mengapa mereka semua tidak lagi akur,
Ayahku, ibuku, keluarga kecilku…
Tak seorang pun dari mereka memberiku jawaban mengapa ini terjadi. Aku kebingungan, akan bertanya kepada siapa aku ?? Nihil, semuanya menyembunyikan kebahagiaanku yang dulu. Atau mungkin bahkan membuangnya. Sebab telah kucari kemana pun kebahagiaan itu tak lagi ada, hanya ada kesuraman yang selalu aku benci. Tidak pernah aku suka. Kini rumahku mendung.
Di saat inilah Allah SWT mengenalkanku dengan air mata dari rasa sakit dalam hati, dan bukan fisik. Di sinilah aku harus dihadapkan pada sebuah keputusan yang sebenarnya tidak pernah dapat aku jawab. Aku harus memilih diantara mereka. Ibu dan ayah, yang sama-sama aku cinta. Sama ratanya.
Luka ini membesarkanku dalam diam, aku tidak mampu berkata lebih banyak lagi. Aku dihadang oleh ruangan kedap suara yang membuat suaraku tak lagi dapat di dengar, walapun aku telah berteriak sekali pun. Percuma saja. Aku terus terdiam meski akhirnya aku tahu jawaban dari apa yang terjadi.
MEREKA BERPISAH…
Sedih ?? Sudah pasti. Marah ?? Barang tentu. Tanda tanya besar selalu terlintas dalam fikiranku. Ada apa ?? Lupakah mereka seperti apa mereka dulu pada awal pertemuan mereka ?? Lantas untuk apa kehidupan selama belasan tahun ini jika memang mereka tidak saling cinta. Untuk apa aku dibesarkan jika memang hanya untuk disakiti seperti ini ?? Serta beribu-ribu pertanyaan yang tak mampu aku utarakan. Hanya dapat aku simpan.
Yang ku tahu hidupku harus terus kujalani meski harus menutupi tangisku dengan senyum yang pernah diajarkan ibuku. Ibuku begitu hebat, ia adalah wanita tegar. Ialah wanita pertama yang mengajarkanku bagaimana menjadi seorang perempuan seperti dirinya.
Ia tahu bahwa ia memang tidaklah sempurna, masih banyak wanita yang lebih hebat daripada dirinya. Namun ia selalu menyiratkan kepadaku bahwa hanya ialah yang mampu merawatku lebih dari sekedar sempurna. Dan aku selalu dibuatnya bangga akan hal itu. Ialah sesosok contoh wanita jempolan, perempuan nomor satu, ialah pertama dan satu-satunya yang memberiku kesan bahwa betapa mulianya menjadi seorang wanita.
Hampir setiap hari kutahan tangis lukaku yang mungkin tak akan sembuh ini, tapi maaf karena aku hanya mampu menahannya selama matahari belum terbenam saja. Tak lebih. Aku selalu tersedu di dalam bilik kecilku, berurai air mata, dan tak seorang pun tahu betapa sakit di dalamnya. Dalamnya telah remuk berkeping lantas berhambur hingga menyeluruh tubuhku.
Meski ku tak dapat lagi senyum tawa dengan keluarga kecilku seperti dulu, masih ada mereka yang menghiburku. Memberikanku harapan yang lain. Walaupun itu tak lagi sama seperti kebahagiaan dari mereka orang tuaku. Menegarkan dan menguatkan sebisa mereka dengan berbagai hiburan yang mereka harap dapat membantu.
Merekalah, teman-temanku…
            Ya Allah, terima kasih telah menghadirkan mereka, semua dihidupku terasa lebih berharga. Aku mampu tertawa lagi, sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan. Aku menghargai usaha mereka yang ingin mengembalikan Sofia yang dulu pernah mereka kenal. Mengalihkan perhatian dengan putar haluan agar aku menemukan kebahagiaan yang lain bersama mereka.
            Yang kutahu rumahku tak lagi lengkap, tapi aku percaya Allah SWT punya rencana yang lebih indah. Mereka hanya melepaskan status diri mereka, tidak lagi menjadi suami dan istri. Tetapi aku yakin mereka tidak akan pernah melepaskan posisi mereka sebagai orang tua, sebagai ayah yang tangguh dan ibuku yang begitu hebat.
            Terima kasih untuk ibu yang hebat ini…
            Bersyukurlah kalian yang masih bisa melihat ayah dan ibu kalian hidup dalam satu rumah, dapat bersenda, dapat bergurau bersama. Karena kalian satu atap bersama mereka. Sungguh waktu yang tidak ternilai dengan apapun. Kalian beruntung.
            Sayangi mereka selagi bisa, mereka berharga. Sangat berharga bahkan…
            Aku berharap di ulangtahunku yang ke 17 nanti aku mendapatkan ‘kesempatan’ untuk bisa merasakan sekali saja berkumpul dengan ‘keluarga kecilku yang lengkap’ meski hanya dalam satu jam saja. Dan merasakan bagaimana kebahagiaan yang dulu dapat berkumpul kembali lebih dari sekedar selamanya.
Walaupun itu tidaklah mungkin…

Dari Ia yang selalu mengidolakanmu sebagai pedoman hidup, Sofia..
Teruntuk ibu yang terhebat yang pernah ada yang pernah aku miliki semumur hidupku, Ibu :*

Oleh : SAM98 (Minggu, 2 Oktober 2015 21:48:00)



0 komentar:

Posting Komentar