Selasa, 29 September 2015

Merpati Putih (Part 1)

Telah dikisahkan dalam sebuah kehidupan antara seorang pecinta alam dengan seekor burung merpati putih. Dan di dalam ceritanya dimana terjadi banyak sekali hal yang tidak terduga terjadi pada mereka berdua. Biarkanlah mereka merasakan bagaimana getirnya dunia, sebagai pembelajaran teruntuk mereka pada umunya dan kita semua pada khususnya.
Di dalam sebuah desa, hiduplah seorang pemuda tampan yang tubuhnya kekar dan budinya yang luhur. Dia teramat patuh kepada orang tuanya, membantunya dalam berdagang dan bertani, atau pun dalam hal sepele seperti membersihkan rumah sekali pun. Dia juga cekatan dalam menolonh sesamanya. Tak heran jika banyak tetangga yang segan terhadapnya. Maka tak dapat terhitunglah wanita yang menaruh hati kepadanya, atau pun orang tua yang ingin menjodohkan putrinya dengan pemuda itu.
Namun sayang, diusianya yang telah menginjak dewasa dia masih saja sendiri. Mungkin lebih tepatnya memilih untuk menyendiri. Entah dengan alasan apa, taka da seorang pun yang tahu. Termasuk orang tuanya sekali pun.
“Saya masih ingin menikmati masa muda” alibinya ketika ia ditanya kapan akan menikah.

Padahal boleh dibilang pemuda itu telah mapan dalam segi ekonomi, harta warisan dari orang tuanya sungguh melimpah ruah. Tinggal menciduknya kapan pun ia mau. Karena memang hanya ia lah putra tunggal dari orang tuanya. Ibaratkan pohon yang telah menginjak usia masak, siap panen dan tidak perlu lagi untuk menunggu terlalu lama. Tetapi masih tetap saja ia bersikukuh untuk membujang. Dan tidak ada yang bias menghindarinya. Ah biarlah…
Di samping kewajibannya untuk bertani dan berdagang, ia juga senang memelihara binatang.. merekalah pendamping setia yang tidak pernah mengkhianati pemuda itu. Mulai dari ikan, ayam, kambing, hingga ular pun dia punya. Bahkan sepertinya hewan-hewan itu pun tunduk kepada majikannya. Dan sepertinya mereka juga ikut-ikutan kepincut akan kesempurnaan pemuda ini.
Contohnya saja kucing peliharaannya. Ia akan setia menunggu pemuda itu dengan bersandar di singgah sana yang telah di siapkan oleh Tuannya ini di samping jendela rumah. Menunggu pemuda itu pulang dengan sembari membersihkan tubuhnya dengan jilatan lidah kucing sebagai kebiasaannya.
Dan di sore harinya, selepas pemuda itu pulang, maka ia akan berlari terbirit-birit menyusul menuda itu lantar menjilati kaki Tuannya ini. Ciri khasnya adalah bunyi lonceng yang ia sematkan di leher bagian depan, kalung logam sebagai tanda pengenalnya. Lantas tuannya itu akan menggendong kucing itu, lalu bermain main bersamanya sebelum ia mandi.
Begitulah kegiatan sehari-hari pemuda itu. Bekerja, berdagang, bertani, dan beternak. Begitu seterusnya setiap hari. Nampak sederhana memang, tetapi inilah kenikmatan yang dirasakan sehingga ia tidak pernah merasakan kebosanan yang begitu berarti.
***
            Sebagai seorang pejantan yang itdak perlu diragukan lagi ketangguhannya, ia juga sering melakukan pemburuan di tengah hutan. Ilmu berburunya ia dapatkan dari pamannya yang memang bekerja sehari-hari sebagai seorang pemburu. Waktu kecil, ia sering sekali diajak oleh pamannya untuk menemani dalam menjelajahi rimba tak jauh dari rumah.
            Karena telah terbiasa melihat kondisi semacam itu, alhasil pemuda itu pun bias dengan sendirinya. Kini ia juga sering berhutan memburu hal-hal unik yang ia temukan. Sebut saja kemarin, ia mendapatkan babi hutan yang sangat besar. Adalah suatu kepuasan tersendiri bagi seorang pemburu jika dapat menembak tepat pada sasarannya.
            Dan sekarang ia ia lebih memilih untuk berburu seorang diri, tanpa pamannya. Alasannya, ia hanya ingin menguji nyalinya dan mengasah kemampuannya dalam hal berburu. Ia hanya ditemani oleh anjing Bulldog kesayangnnya sebagai penunjuk jalan. Berbekalkan senjata berburu, seperti panah, pedang, tombak, dan boomerang. Ia memberanikan dirinya memasuki hutan itu. Pergi lenggang kangkung, pulang bawa uang sekarung.
            Seperti saat itu , sedang berburu seeokor kijang. Hewan dengan tanduk yang indah sebagai cirinya itu begitu memikat. Terlebih lagi kini masyarakat sedang banyak membicarakan kijang yang memiliki keunikan tersendiri tapat di tengah hutan. Hutan dimana yang sangat lekat akan mitos keangkerannya ini. Banyak sekali legenda daerah yang acap kali disangkut pautkan dengan hutan itu. Tanpa ambil pusing pemuda itu pun matap untuk menjajakan kakinya pada hutan lebat tersebut.
            Baru memasuki bibir hutannya saja, pohon besar telah menyapa. Akarnya yang hingga muncul ke permukaan sering menyandung kaki pemuda itu. Batangnya yang begitu besar hingga entah berapa orang dapat melingkarkan tubuhnya di sana. Menggambarkan betapa tuanya usia pohon-pohon itu. Mungkin telah berumur ratusan, atau mungkin hingga ribuan tahun lamanya.
Dahannya tinggi menjulang, menggapai langit. Tak terhitung berapa meternya. Sedang daunnya ?? Oh barang tentu sangat lebat, hingga cahaya matahari pun tak diperbolehkan untuk mengintip ke dalam hutan barang sejanak saja. Hutan itu benar-benar gelap, taka da beda antara pagi, siang, sore, atau pun malam.
“Selamat pagi, Duniaaaa”, teriak pemuda itu dari dalam. Suaranya yang besar mengkokohkan dirinya sendiri, hingga menggema nyaring seantero pelosok hutan. Beberapa detik suaranya masih terdengar. Seakan menandakan betapa luasnya hutan yang satu ini.
Tetapi satu hal yang membuat pemuda itu tetap bertahan, selain niat yang kuat pastinya. Suasana tempat itu begitu sejuk, nyaman sekali. Tenang saja, karena di sini kandungan oksigennya begitu kaya. Sangat melimpah ruah. Tidak seperti di kampungnya, yang begitu panas. Yang mulai bercampur dengan asap pabrikan.
“Are you ready, boy ??”, ajak pemuda itu kepada anjingnya
“Guk Guk..”, gonggong anjing itu sebagai tanda mengiyakan
“Bagus, mari kita mulai petualangan ini  J
Yang menjadi tantangan tersendiri adalah dimana tanah tempat pemuda itu berpijak. Karena tidak mendapatkan asupan cahaya matahari, maka bagian bawah pohon itu pun berlumut. Tanahnya pun juga berubah menjadi gambut. Perlu perlakuakn ekstra untuk dapat menjelajahi hutan itu.
Tak jarang pemuda itu pun jatuh terpeleset akibat licinnya kayu-kayu yang ada di sana. Huuuft -_- berjam-jam berjalan, nampaknya pemuda itu masih berada di bibir hutan. Karena sedari tadi kondisinya masihlah sama. Dan tampaknya keadaan ini masih akan berlangsung lama. Sungguh, sebuah perjalanan yang teramat melelahkan.
Untuk tidur, tidaklah sulit bagi pemuda itu. Ia cukup naik ke beberapa dahan, lalu melilitkan ranting-ranting muda untuk dianyamnya menjadi tempatnya terlelap malam nanti. Pada beberapa bagian ia pastikan cukup kuat untuk menahan tubuhnya, dan cukup lebar untuk dipakainya berselonjor mengusir penat setelah seharian penuh berjalan.
Ia juga mengambil dedaunan kering dari bawah, lantas ia tumpuk-tumpuk sedemikian rupa pada salah satu sisinya. Guna ia pakai sebagai bantalan penyangga kepalanya dari kerasnya dahan-dahan itu
Satu masalah yang belum terselesaikan, yakni nyamuk. Ya, sepele sekali memang. Tetapi akan menjadi masalah besar jika melewatkan hal yang satu ini. Karena masalah yang besar itu timbul dari hal-hal yang kecil. Sering menganggap enteng hal yang minoritas, yang nantinya akan membuat masalah baru yang lebih kompleks.
Namun jangan khawatir, solusinya mudah saja. Pemuda itu pun cukup mengoleskan dedaunan di sekitarnya yang beraroma menyengat. Dijamin, nyamuk-nyamuk tidak akan berani mendekat. Nyamuk hutan, adalah nyamuk yang dikenal begitu ganas. Karena memang nyamuk ini berbeda dengan nyamuk pada umumnya. Ukurannya lebih besar, dan gigitannya pun luar biasa menyakitkan. Bekas gigitannya saja akan terasa merah dan melebam seperti sisa luka bakar.
Gampang, si Bulldog tidur pun hanya beralaskan jerami yang telah aku persiapkan sebelumnya. Berada di bawah pohon untuk melindungi pemuda itu. Dan pada malamnya yang larut, sebelum tidur pemuda itu akan membuat perapian untuk sekedar menghangatkan dirinya. Atapu pun membakar makanan yang ia temukan di perjalanan. Lantas abu sisa pembakaran itu akan ditabur berkeliling pohon tempat ia tidur. Selain agar uap panasnya agar tidak naik ke atas, juga sebagai pelindung pemuda itu dari hewan-hewan buas. Karena hewan-hewan itu tidak akan mengitari bara yang panas itu.
Untuk makan ?? pemuda itu cukup mengunyah dedaunan mentah yang sekiranya dapat ia makan. Atau memetik buah-buahan segar siap panen yang telah matang sebelumnya. Begitu saja sudah cukup bagi seorang pemburu ulung seperti pemuda itu. Sedang anjingnya, cukup berbeda. Ia harus menahan laparnya lebih lama. Karena ia baru bias makan setelah mereka menjumpai sungai. Dimana nantinya pemuda itu akan membiarkan anjingnya akan liar berburu ikan sekenyangnya.
Di sini, pemuda itu juga ingin melatih anjingnya ini untuk hidup bebas. Agar ia mengenal kehidupan liarnya yang sebenarnya. Tidak hanya itu, di sini pula lah tempat pemuda itu membersihkan diri. Mencuci baju dan mandi di sungai air hulu. Sungguh segar rasanya…
Setelah kurang lebih dua hari perjalanan hanya bertemankan anjing kesayangannya ini, akhirnya mereka akan segera mendekati tengah hutan. Terbukti dengan munculnya hewan-hewan liar asli hutan tersebut, seperti tikus hutan, monyet, burung-burung, sampai hewan melata semacam ular dan iguana.
Semakin dalam semakin beraneka saja ragam dari hewan-hewan itu. Bahkan sesekali pemuda itu harus memanjat ke atas pohon atau bersembunyi di balik belukar guna menghindari ganasnya macan, besarnya gajah, atau mungkin agresifnya badak.
Kini saat sampai di sungai, pemuda itu pun harus lebih waspada, karena bisa saja muncul hewan-hewan yang tidak terduga. Terkadang ada kudanil yang sedang asyik berendam, gerombolan buaya yang sedang mencari mangsanya, atau mungkin sekumpulan piranha dengan deretan gigi tajamnya.
Anjing Bulldognya saja sempat beradu jotos dengan anjing hutan yang lain, karena keliaran hewan-hewan di sana. Mungkin inilah yang dimaksudkan pepatah, bahwa “Jangan menjadi manusia yang bersifat kebinatang-binatangan”. Karena hewan cenderung cepat bertindak tanpa melakukan pikir panjang. Bertindak semaunya sendiri, dan lebih mementingnkan egonya masing-masing.
Suatu pengalaman yang teramat berharga bagi pemuda tersebut. Terdengar decitan burung yang berualng kali, seakan memunculkan sirine ambulance di tengah hutan. Semakin aku berjalan, semakin jelas terdengar. Hingga pada akhirnya aku menjumpai sebuah menadangan yang sangat langka, tepat dengan kedua mata kepalaku sendiri. Terdapat seekor singa betina yang sedang membutuhkan pertolongan.

Pemuda itu pun segera berlari sekencang-kencangnya, mendekati singa tersebut. Ia tercengang dalam keheranannya. Di sana begitu sepi, tidak ada apa pun. Ia adalah seekor singa betina yang tengah mengalami persalinan.


Bersambung.... :) 

0 komentar:

Posting Komentar