Sobat, coba kau simak
semut-semut itu. Apa yang dapat kau lihat ?? Apakah hanya segerombolah
hewan-hewan kecil berwarna hitam ?? Lebih dari itu, hewan ini sangat istimewa.
Ia dapat mengalahkan seekor gajah yang besar tubuhnya beribu-ribu kali lipat
dari biasanya.
Jika kau lihat lebih dekat,
ada satu hal yang membuat semut itu sangatlah unik, berbeda dengan hewan-hewan
pada umumnya. Dia sangat senang bertegur sapa, saling bersalaman. Dimana pu
mereka bertemu, pasti mereka akan singgah –barang sejenak- untuk mengatakan
“Halo”.
Mungkin inilah yang membuat
Allah SWT memnerikan rahmat yang begitu besar kepada si semut. Sehingga
memerintahkan kita agar tidak membunuh semut. Tidak hanya itu, Allah SWT juga
akan menindak tegas setiap umatnya yang dengan sengaja membunuh semut-semut
itu.
Sungguh Tuhan benar-benar
telah bermurah hati terhadap setiap makhlukNya. Betapa tidak, dia menciptakan
segala yang ada dengan kelebihan lengkap pula dengan kekurangan yang ia miliki.
Menganugerahkan kasih abadi yang tidak akan pernah habis. Hingga membuta
pijakan untuk ciptaannya. Pada tempat yang sangat prestesius, bernama alam
semesta.
Berbicara mengenai kemuraha
hati, Tuhan memang sangat adil. Menciptakannya dengan 1001 kelebihan dan 1
kekurangan. Cintanya pun tak akan pernah surut laksana sumber mata air di atas
hulu pegunungan, walaupun kemarau melanda sekali pun.
Kau tahu, hingga kini
sepanjang hidupku aku masih belum menjumpai dimana Tuhan mendapatkan cintaNya
tersebut. Setiap took yang kutemui selalu tidak menjual menu yang disebut
dengan ‘Kasih Tuhan’ itu. Ah sudahlah !!!
Mungkin saja Tuhan tidak
harus membelinya. Bisa jadi dia memproduksi sendiri kasihnya. Hingga kelak esok
hari kasihNya itu tak akan pernha surut.
Aku adalah seekor hewan
insekta. Ya, tentu saja. Aku memiliki 3 pasang kaki, sepasang sayap, dan
sepasang antenna sebagai aksesorisnya. Aku juga memiliki dua buah mata yang
berukuran raksasa, sangat besar jika dibandingkan dengan sejenisku.
Oh iyah, aku pun senag
sekali hingga di daerahmu. Namun daerah yang begitu kau senangi, sehingga kawan
sebayamu dapat membunuhku begitu saja. Semuanya, tanpa sisa. Hanya dengan
menepukkan telapak tangan, hancur sudah badanku terlumatkan olehnya.
Aku mati dalam keadaan yang
begitu tragis. Miris memang, terbujur kaku dalam keadaan kepala yang gepeng,
isi perut yang terburai, badan yang tak berbentuk, dan berbagai macam lainnya
yang tidak bisa aku ungkapkan. Karena memang kenaasan kaum ku ini. Tak hany
itu, setelahnya kamu pun biasanya langsung menempelkanku begitu saja di atas
dinding rumahmu. Sehingga aku akan meninggalkan bekas coklat kehitaman, karena
darah dari tubuhnya sendiri.
Sebegitu hinanya kah aku
dimatamu ?? Hingga dengan sangat keji kau membantaiku tanpa ampun. Bahkan di
restoran pun, aku disebut-sebut sebagai hewan yang sangat menjijikan. Tempat
yang diberikan rahmat oleh Tuhan, sebagai daerah isi ulang energy bersubsidi,
hanya labelnya belaka. Karena bagi kami, tempat itu adalah neraka.
Kami mati dengan berbagai
cara. Mulai dari dipukul, diceples, ditabok dengan alat bantu, hingga mati
dalam keadaan mongering pada sebuah perangkap. Manusia begitu cerdas. Membuat
benda-benda aneh yang dapat membantu mereka, katanya. Mereka menciptakan benda
baru agar aku tak lagi dapat mengganggu.
Benda berukuran besar itu,
sangat terang dengan cahaya ultravioletnya. Tentu benda itu sangat menarik bagi
kami, berduyun-duyun kami datang, ingin mengetahui apakah gerangan cahaya putih
yang berkilau itu ?? Dan di saat kami mendekat, alangkah terkejutnya kami.
Tatkala benda itu semakin kuat menarik semakin terang pula cahayanya. Menusuk
tajam ke bola mata kami dan membuat kami tak berdaya karenanya.
Alhasil, kami pun pingsan.
Balum lagi kami siuman. Tubuh kami telah keras, mongering dengan sendirinya
lantaran cahayanya yang sangat terang itu.
Sungguh biadab manusia itu,
tega-teganya membunuh kami yang hanya ingin mencari makan, barangs esuap saja.
Entah kata apalagi yang akan aku berikan kepada mereka. Umpatan, cacian, makian
kah ?? Astaghfirullah !!! aku tidak boleh berkata demikian. Karena kita sesame
makhluk Tuhan bukan ?? tak sepantasnya kami mengucapkan hal kotor yang dilarang oleh Allah SWT.
Kita sama-sama ciptaanNya
yang dianugerahi dengan kemampuan untuk berlindung. Beradaptasi digunakan agar kami
dapat bertahan hidup supaya kelestarian keturunan kita dapat terjaga –Tidak
punah-. Maka aku tidak boleh menyalahkan mereka begitu saja. Mereka melakukan
tersebut juga pasti ada alasannya. Mungkin mereka tidak berniat untuk membunuh
kami, mereka hanya ingin menjaga diri mereka saja.
Oleh karenanya, jangan
menyalahkan kaum kami juga. Kami hanya ingin mendapatkan tambahan nutrisi dari
makanan yang ada. Namun beginilah cara kami. Kami ingin jangan anggap kami ini
sebagai hewan yang hina. Kami hanya hinggap pada benda-benda yang menarik
menurut insting kami begaia kaum insekta.
Ya, tidak seperti manusia.
Yang dikaruniai akal dan pikiran sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka kami
pun hanya diberikan insting oleh Tuhan agar terlihat serupa dengan manusia
–walaupun sebenarnya tidak-
Sobat, tentunya kau sudah
tahu bukan siapakah aku ?? Aku adalah seekor lalat, ya lalat. Hewan yang sering
dianggap oleh anak kecil yang serupa dengan nyamuk itu. Ya, juga hewan yang
dianggap sebelah mata oleh sebagian orang. Hewan yang selalu kau anggap sebagai
racun, dan hewan yang sering kau gunakan sebagai detector penanda tempat kumuh
dan kotor.
Menurut keturunan klenik
dalam ritual jawa, aku merupakan salah satu hewan yang cukup disakralkan.
Mereka percaya bahwa lalat sepertiku tak selamanya membawa bibit penyakit. Kau
tahu bahwa aku memiliki 6 buah kaki. 3 kaki di sebelah kiri boleh jadi memang
membawa bibit penyakit, namun jangan pernah meragukan bagian kaki sebelah
kananku. 3 kaki sebelah kananku ini membawa madu-madu sebagai penawar bibit
penyakitku tadi.
Jadi mau dimana pun aku
hinggap, aku (mungkin) tak akan membawa racun karena aku juga telah membawa
penawarnya. Mungkin ini yang membuat Chrisye terinspirasi dengan lagunya yang berjudul
‘Racun dan Madu’ itu. Ah, ada-ada saja…
Sekarang izinkan aku
bercerita tentang kisahku. Sebagai seekor lalat tentunya aku terlahir sebagai
hewan yang lincah. Senang terbang kian kemari, hinggap sana hinggap sini. Mulai
dari tempat terindah seperti kelopak bunga, sekelompok makanan yang nikmat
hingga tong sampah yang busuk baunya. Aku tidak tahu bedanya, aku hanya
mengikuti keinginanku. Karena sekali lagi, aku hanya dianugerahi sebuah insting
hewani.
Aku begitu senang jika aku
hinggap ke kelopak bunga yang sedang bermekaran. Warna mahkotanya begitu
mencolok, seperti ia ingin memamerkan keunggulan di atas segalanya. Agar kami
–para serangga- dapat tertarik untuk mendekatinya. Dan benar saja, aku pun
serasa terhipnotis akan magisnya pesona warna cinta itu. Hmmm, sungguh nikmat
rasa serbuk sari yang ia hasilkan. Dapat aku lahap habis hanya dalam waktu
sekejab. Hahahah !!! Lihatlah, mukakusudah mulai cemong sana cemong sini
dipenuhi dengan butiran kuning yang legit dan manis itu. Hmmm…
“Terima kasih, bunga. Serbuk
sarimu itu sangatlah nikmat.”
“Benarkah itu, Lalat ??”
“Sungguh, Bunga. Aku
tidaklah berbohong.”
“Jika kau suka, kau boleh ke
sini setiap hari jika kau mau.”
“Apa ?? Setiap hari ??”
“Ya, setiap hari aku akan
memproduksi serbuk sariku itu. Bagaimana ?? Kau mau bukan ??”
“Boleh kah ?? apakah kau tak
keberatan ??”
“Tentu saja tidak, lalat.
Aku akan sangat senang jika kau setiap hari dapat ke sini.”
“Baiklah, aku akan ke sini
pada setiap harinya jika kau tidak merepotkanmu, Bunga.”
“Tenanglah, Lalat. Aku tidak
pernah merasa kau repotkan.”
Sejak saat itu pun aku mulai
akrab dengan sang bunga. Setiap pagi aku selalu datang untuk mengunjungi bunga
itu. Memakan seluruh serbuk sarinya, dan bercerita tentang banyak hal. Hingga
pada sore hari aku baru pulang dalam keadaan luar biasa kenyangnya.
Tidak hanya itu, ia pun
memberiku tempat yang terindah di sisinya. Ia design mahkota bunganya
sedemikian rupa agar aku dapat tinggal dengan nyaman di dalamnya. Cuaca panas
tak kepanasan, dan hujan pun tidak kedinginan.
Semua ini berlangsung lama,
aku merasakan seperti terdapat sesuatu yang janggal, sesuatu yang aneh, namun nikmat
rasanya dapat mengalahkan itu semua. Aku mulai bermetamorfosa menjadis seekor
lalat yang baru. Ya, alalt yang baru. Kau tahu, kini aku terlihat lebih
monthok, aku pun jauh lebih wangi dan juga terawatt. Pola hidupku kini jauh
lebih higienis daripada sebelumnya.
Entah rasa apa ini ?? Aku
pun tidak mengetahuinya. Ini baru pertama kalinya aku rasakan. Pergi ke bunga
itu, seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Di satu sisi aku tak ingin
pergi darinya, aku selalu ingi bersama dengan bunga, kehangatannya membuatku
nyaman. Namun di sisi lain, aku juga tidak bisa pergi terlalu lama. Aku juga
memiliki kehidupan sendiri.
Oh iyah, seharian bersama
dengan bunga rasanya masih kurang saja. Saat aku pulang, hari terasa lama
sekali. Kata orang, sejam serasa sehari, sehari serasa seminggi, seminggu
serasa sebulan, sebulan serasa setahun, dan. Ah sudahlah…
“Bunga, hari telah menginjak
senja.”
“Benarkah kau akan segera
pergi, lalat ??”
“Ya, seperti biasa.”
“Mengapa matahari itu
bergulir begitu cepat ??”
“Itu yang kau rasa, Bunga
??”
“Ya, setiap hari aku selalu
bertanya demikian, lalat.”
“Aku fikir hanya aku
seoranglah yang merasakan demikian, Bunga.”
“Apakah yang juga merasakan
hal yang sama denganku, Lalat ??”
“Tentu saja.”
“Hmmm…”
“Baiklah, aku harus segera
pergi. Sebelum hari benar-benar gulita.”
“Tunggu, lalat.”
“Terima kasih untuk hari
ini, Bunga. Sampai bertemu esok hari, aku selalu merindu ceritamu hari-hari.
Maka, persiapkanlah cerita barumu untukku pada esok hari.”
“Lalat, aku ingin
mengutarakan satu hal kepadamu sebelum kau benar-benar pergi.”
“Ya, silahkan saja.”
“Tahukah, kau begitu
istimewa untukku. Istimewa…”
“Istimewa ?? Istimewa
bagaimana ??”
“Istimewa, semua yang ada
pada dirimu begitu berbeda.”
“Dan ??”
“Dan…”
“Dan ??”
“Ya, tentu saja aku menyukai
sebuah perbedaan.”
“Lantas ??”
“Perbedaan.. Aku menyukai
perbedaan karena perbedaan itu unik. Dan sebuah keunikan akan melahirkan
sesuatu yang baru. Dan itu bagus.”
“Bunga, bolehkah aku
bertanya ??”
“Apa yang kau suka dari aku
??”
“Tutur katamu.”
“Satu hal yang belum pernah
aku dengar sebelumnya, Lalat.”
“Bagaimana pendapatmu ??”
“Aku tidak mengerti apa yang
kurasakan.”
Ya, mungkin hanya itu yang
bisa aku katakana kepada bunga saat itu. Bahwa ‘aku tak mengerti apa yang
kurasa’.
Sejak saat itu, semua menjadi
berbeda. Menjadi lebih manis, menjadi lebih indah, lebih, lebih, dan lebih.
Semuanya menjadi serba lebih. Aku menjadi semakin sering singgah ke bunga.
Perhatian bunga juga semakin baik. Hingga pada suatu hari bunga
memperkenalkanku kepada temannya. Sama, ia juga bernama bunga. Namun bunga ini
Nampak berbeda.
Ia jelek, tidak semenarik
bunga. Benar memnag ia memiliki kelopakmbunga juga. Namun warnanya telah
memudar. Entah apa yang telah terjadi kepadanya. Tapi yang jelas, dia tampak
begitu kurang percaya diri. Dia lebih senang menyendiri, dan menjauh dari kawan
sebayanya.
Sering kali aku menjumpai
bunga itu di sepanjang jalan pulang. Benar memang, dia selalu tampak tak
bersemangat. Tampak lemah dan lesu. Di saat bunga yang lain berlomba-lomba
untuk mencari perhatian banyak orang. Sedang dia hanya diam termenung diantara
jajaran rumput liar dan tumpukan batu yang melingkupi tubuhnya itu.
To Be Continue ..
Oleh : SAM98 (Malang, 26 Januari 2016)
As reported by Stanford Medical, It's in fact the SINGLE reason women in this country get to live 10 years more and weigh 42 pounds lighter than we do.
BalasHapus(By the way, it has totally NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and really, EVERYTHING to about "how" they are eating.)
BTW, I said "HOW", and not "what"...
Tap this link to find out if this little questionnaire can help you decipher your true weight loss potential