Jika
kita sering menyebut Bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa yang kerap diperingati
dengan berbagai lomba seperti cipta-baca puisi, cerdas-cermat, dan lain
sebagainya. Maka sebut saja setelahnya, yakni Bulan November sebagai Bulan
Bahagia selain Bulan Pahlawan. Mengapa demikian ?? Dan ada apa dengan kata
Bahagia itu sendiri ??
Sebuah esensi dari kata Bahagia akan
terlahir tatkala terdapat banyak hal yang membuat kita senang dengan berbagai
kebehagiaan yang ada. Bagaimana tidak, tepat sebualn yang lalu telah terukir
sebuah kenangan indah yang mungkin akan sangat sulit untuk kami lupakan.
LKS, Lomba Keterampilan Siswa tingkat
Sekolah Menengah Kejuruan seJawa Timur datang lagi. Dengan berbagai bidang
lomba yang diajukan, dengan segala macam keterampilan yang diujikan, serta
dengan semua kecekatan yang ditandingkan. Menjadikan ajang lomba tahunan ini
sebagai surga bagi setiap siswa SMK di Indonesia. Karena hanya di sinilah
satu-satunya peluang mereka untuk mampu tampil ke muka luar, untuk menunjukkan
kebisaan mereka dengan berbagai eksistensi yang ada.
Juga sebagai tempat pembuktian dan
peraduan nasib untuk mempertaruhkan jati diri mereka yang sebenarnya. Karena
sebenarnya LKS ini dibuat untuk mengukur seberapa besar minat para siswanya
kepada pendidikan SMK. Tak hanya itu, LKS juga digunaka sebagai tempat saling
silaturahmi dan reuni perkumpulan setiap sekolah. Guna membangun sebuah
harmonisasi antar sekolah di Indonesia, juga agar membangun ikatan tali
persaudaraan dalam dunia pendidikan.
Berbagai lomba pun juga ikut diajukan. Mulai
dari web design, software aplikasi, design grafis, robotic, networking support,
sampai olimpiade Fisika, olimpiade matematika, debat bahasa inggris, dan
animasi pun ada. Membuka kesempatan yang selebar-lebarnya untuk berkarya, serta
memberikan peluang yang seluas-luasnya untuk melakukan yang terbaik dari
dirinya.
Dan, hari dimulai pada hari Minggu
dimana kami semua kurang lebih berduapuluhlima memulai perjalanan secara
bersama-sama didampingi dengan pembimbing pada setiap lombanya. Sebelumnya
persiapa telah kami lakukan selama kurang lebih tiga bulan lamanya. Kami kira,
ini sudah cukup untuk melakukan persiapan hal-hal yang terbaik. Dan dalam
sepuluh hari terakhir, kami berada dalam kondisi karantina .
Situasi dimana total dalam hal latihan.
Menguras banyak tenaga memang, tentu
juga menyita banyak waktu. Namun ini adalah suatu kenikmatan tersendiri yang
kami rasakan selama ini. Bagaimana tidak, kami adalah delegasi sekolah sebagai
duta-duta perwakilan yang akan siap bertempur melawan mereka-mereka yang juga
bernasib sama seperti kami. Memikul tanggung jawab besar agar mampu sebagai
seorang juara dalam tertarungan hebat ini.
Ya, anggap saja perlombaan ini
sebagai sebuah pertarungan. Bukan busur dan panah sebagai senjata andalan kami,
atau mungkin tombak, pedang dan gada sebagai sumber utama kekuatan kami. Namun
tekat yang kuat telah mampu mengalahkan itu semua. Dengan sentuhan
kekonsistenan menambah esensi dari keseriusan itu semakin nyata terlihat. Juga
tameng yang akan kami gunakan ada doa yang senantiasa tercurahkan disetiap saat
setiap waktu kami berada. Meminta kepadaNya agar diberikan kelancaran dan
kemudahan untuk melewati ini semua.
Dan sebuah bis kecil menjadi pintu
gerbang terbukanya kami menuju tempat tujuan. Kota Jati, adalah sebutan akrab
bagi Kota Bojonegoro yang kini menjadi tuan rumah berlangsungnya LKS tahun 2014
ini. Perjalanan kami telah dimulai, disaat satu persatu dari kami mulai
memasuki pintu bis. Aura kompetisi pun sudah mulai terasa. Memilih tempat yang
pas, lantas kami saling disibukkan dengan urusan kami masing-masing.
Waktu adalah uang, mungkin adalah
pepatah yang tepat untuk menggambarkan situasi pada saat itu. Bahkan dalam
perjalanan pun kami masih melakukan latihan-latihan kecil. Entah itu dengan
membaca buku, saling bertukar informasi, atau berkonsultasi dengan pembimbing
kami.
Perjalanan kami masih sangat
panjang, berkisar antara lima sampai enam jam jalur darat yang harus kami
lalui. Pemandangan yang tersedia tak begitu kami hiraukan, kebanyakan dari kami
selalu membayangkan bagaiamana situasi yang akan terjadi pada saat perlombaan
nanti. Puluhan, bahkan ratusan sekolah akan saling bertumpah ruah menjadi satu.
Roda bis yang selalu bergulir cepat, seiring dengan doa kami yang juga tak
hentai-hentinya mengalir dengan derasnya. Hingga tak dapat terhitung jumlahnya.
Kadang tak jarang Pak Supir
memberhentikan bis ini di beberapa POM Bensin. Untuk rehat sejenak, sekedar
membeli minuman, atau mungkin saling bergiliran pergi ke kamar mandi SPBU
tersebut. Benar-benar sangat bermanfaat. Tak hanya itu, waktu ini pun sering
kami pergunakan untuk keluar dari bis dan menggerak-gerakkan badan guna
mengusir rasa lelah yang mulai datang akibat duduk terlalu lama di dalam bis. Yang sering terlewat dipahami adalah, kami sebagai manusia
adalah satu kesatuan tubuh dan pikiran. Seringkali, kebuntuan yang dialami
pikiran adalah karena tubuh kita kelamaan dibiarkan kaku.
Satu hal, kami hanya ingin
menyajikan hal yang terbaik untuk almamater kami. Serta memberikan hasil yang
makasimal pula sebagai timbal balik bentuk perhatian sekolah terhadap kami
selama kami. Hanya itu…
Memasuki Kota Bojonegoro, seperti
gembar-gembor yang terdengar. Udaranya terasa teramat panas, lebih panas
daripada Kota Surabaya yang notabene adalah Kota Pelabukan. Kami pun tak
henti-henti saling berkipas-kipas guna memberikan setidaknya sedikit rasa sejuk
dari kulit kami. Namun itu pun tak begitu berguna, bahkan lebih dari itu kami
hingga saling berebut hembusan AC bis yang terasa jauh lebih segar dari pada
kipas yang juga membawa udara panas itu.
Dan moment-moment inilah sebagai
alasan pertama yang membuat julukan Bahagia jatuh kepada Bulan November tahun
ini. Kami menyebutnya sebagai ‘Peristiwa di Dalam Bis’. Ya. Anggap saja
demikian. Peristiwa saat berebut AC, makan siang bersama di atas bis, karaoke
bersama, mengabiskan serentetan waktu macet juga bersama, hingga tertidur pun
juga bersama. Mungkin semuanya tak akan pernah bisa tergantikan dengan mudah.
Waktu
telah menunjukkan tetapt pada tengah hari, saat takbir itu terdengar dari alarm
salah seorang guru kami dari smartphone miliknya, sedang kami masih berada
dalam hutan jati. Nampaknya perjalanan ini akan terasa panjang. Belum lagi
macet, berjubel dengan kendaraan lain yang juga tak mau kalah satu sama lain. Mungkin
mereka juga sama seperti kami, mengejar waktu untuk lekas sampai ke Kota tujuan
masing-masing.
Setelah kami tunaikan kewajiban kami
sebagai seorang Muslim, yakni shalat dhuhur. Lantas kami melanjutkan perjalanan
dengan penuh rasa kelelahan dan keletihan. Kami hampir sampai, terlihat
baliho-baliho besar di pusat kotanya kata-kata ucapa selamat datang. Juga
spanduk-spanduk yang saling berjejer membentuk sebuah barisan rapi, sepertinya sang
pemasang sengaja memasangnya secara berjejer. Untuk menunjukan arah yang benar
kepada pembacanya. Dan benar saja, kami dapat sampai ke tempat yang tepat
berkat itu semua.
Kami tiba di sebuah rumah yang mana nantinya kami akan menginap di sana selama
beberapa hari. Tidak besar memang, hanya sekedar cukup untuk kami berempatpuluh
ini. Sebuah rumah kontrakan yang kami sewa khusus untuk di Kota Bojonegoro ini.
Di sinilah langkah kami akan dimulai, di sinilah awal dari kami berjuang. Rumah
ini adalah basecamp markas Grafika dalam mempersipkan pertarungan di esok hari.
Beratapkan
cita-cita dan tekad, berdinding semangat yang kuat, dan beralaskan restu dan
doa yang kami panjatkan membuat rumah ini terasa begitu harmonis. Dalam kebersamaan
yang kami jalin, inilah alasan kedua mengapa kami menyebutkan Bulan November
ini sebagai Bulan Bahagia. Makan bersama, saling berebut kamar mandi, shalat
berjamaah, hingga bersama-sama menjalani latihan hingga larut malam pun kami
jalani bersama-sama. Dan sekali lagi, hal-hal yang mungkin tidak akan pernah
tergantikan. Walaupun diganti dengan orang lain sekalipun.
Rumah
ini sekaligus menjadi saksi bisu upaya kerja keras kami, kelembutan kami
tenggelam dalam balutan mukena dan kain sarung di sepertiga malamnya. Jika Ia
dapat berkata, mungkin Ia akan menemani kami menghabiskan sang waktu dengan
banyak bercerita mengenai Kota Tayub ini. Namun nyatanya, Ia hanya dapat diam
melihat semangat kami yang begitu meluap-luap dalam menyambut LKS Jatim ini.
Lebih
dari itu, rumah bercat merah ini seakan menggambarkan semangat kami yang juga
merah membara semacam api yang berkobar dalam obor. Selain itu, juga sebagai
tempat bernaung kami seusai bertempur. Sebangai naungan peraduan serta dermaga
pelabuhan tempat kami bersandar dan merapat.
Semua
dimulai pada hari Senin, sebagai hari pertama perlombaan. Semua berjalan dengan
lancar seperti rencana. Gladi bersih yang telah kami lakukan semalam pun, juga
tak jauh berbeda. Sama seperti prediksi sebelumnya, angin berhembus membawa
hawa panas yang teramat luar biasa. Kami yang terbiasa dengan Kota Malang yang
hawa dingin, harus dipaksa bergelut di tengah teriknya matahari yang begitu
panas.
Bayangkan
saja, berfikir dengan kondisi yang tak nyaman tidaklah mudah. Kami terpaksa
memutar otak untuk mengatai ini semua. Meminum banyak air mineral kami gunakan
sebagai jembatan keledai dalam mengatasi rasa dahaga yang datang jauh lebih
sering daripada biasanya. Hadapi saja dengan senyuman... J
Selasa
sebagai hari kedua harus kami jalani lagi dengan bersusah payah. Dengan udara
panas yang masih sangat menyengat, bahkan hingga mencapai tiga puluh lima
derajat celcius.
…
To
Be Continue…
0 komentar:
Posting Komentar