Selasa, 21 Juli 2015

Sepucuk Surat Untuk Ayah


           
 Selamat Datang RamadhanKu, selamat datang LebaranKu.
            Teruntuk sesosok pria dewasa yang entah sedang apa Dia di sebelah sana. Dia yang pertama kali memperkenalkanKu akan makna Cinta, yang sebagai rasa suka yang tidak biasa. Dia yang menyebutkan AsmaNya, yang kini Kukenal sebagi TuhanKu, tempat bernaung dang bermunajat yang paling baik. Lewat merdunya lantunan Adzannya pada telinga sebelah kananKu, dan Bacaan Iqamah yang menggetarkan pada telinga sebelah kiriKu. Dia sebagai lelaki pertama di dunia ini yang kuanggap sebagai pria tertampan yang pernah ada, dan akan selalu begitu.
            Dia adalah seorang pejantan tangguh yang mampu membentengi mentalnya dengan berlapis baja dan terkunci rantai menjadi niat kuat, guna membiayai semua hal yang aku perlukan, Baik itu barang remeh sekalipun. Entah telah berapa ribu cucuran keringat yang telah keluar melalui pori-pori kulitnya, sebagai saksi bisu betapa besar kasihnya kepadaku dan wujud dari rasa sayang Sang Empunya.

Dia yang senantiasa melimpahkan segala cinta kasihnya hanya kepadaku, sebagai putri kecilnya. Dan entah harus bagaimana lagi aku akan mendeskripsikan karismanya sebagai seorang pria dimataku. Tapi yang jelas, Dialah yang menyempurnakan istilah Orang Tua dalam lingkup keluarga kecilku selama ini, melengkapi panggilang ibu sebagai pasangannya, dan aku memanggilnya dengan sebutan AYAH.
            Dan lagi, Bulan Ramadhan telah datang dengan berbagai kenikmatan yang ada. Masih sama dengan bermacam limpahan rezeki yang akan selalu Ia berikan kapada HambaNya yang senantiasa berdoa dan terus bertawakal hanya kepadaNya. Bulan dimana tak ada yang lebih baik daripada 1000 bulan, sehingga menjadi moment yang akan selalu ditunggu oleh setiap UmatNya.
            Ya, Ayah…
Mungkin kau memang tidak pergi ke alam yang berbeda, Alhamdulillah kau masih tetap berada di dunia ini bersamaku. Dan aku juga masih merasakan itu. Namun kepergianmu ini membuatku rindu. Semarah apapun aku saat itu, tapi rasa cinta seorang anak kepada ayahnya tidak dapat dibohongi. Kemurkaan itu seakan langsung menyerah ditaklukkan olehnya. Percayalah, Ayah. Semua kebodohan itu hanyalah wujud dari rasa brontakku terhadap keadaan yang menimpa keluarga kita tempo hari.
Bentuk adaptasi dari apa yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Aku yang dulu tidak pernah lepas dari pengawasanmu, selalu kau antar aku kemana pun aku pergi dan akan selalu menjemputku kapan pun aku mau. Harus dipaksa berubah mandiri dengan cara yang begitu singkat, sangat cepat bahkan. Walaupun sebenarnya aku masih yakin bahwa di luar sana aku masih berada dalam pantauanmu. Melalui beberapa intel rahasia yang kasu sebar guna mengawasiku.
Mungkin pada saat itu aku masih terlampau kaget untuk menerima semua keadaan ini. Sebagai hasil akhir yang tidak akan pernah bisa diubah oleh siapa pun, termasuk aku sendiri. Hal terbaik yang nantinya akan menjadi hal terindah jika kita melewatinya secara ikhlas. Maka nikmati saja, jalani, dan syukuri adanya.
            Ayah, 2 tahun pasca menghilangnya kau dari kehidupaku selama ini. Genap sudah momen lebaran kali ini lagi-lagi kulewatkan tanpa kata sempurna seperti biasanya. Tradisi sungkeman itu pun terasa begitu ganjil mengganjal perasaan. Hanya Ibu di sini, tanpa adanya sesosok Ayah yang ku kenal dulu. Yang berkumis lengkap dengan jenggot dan jambang yang selalu kau pelihara. Atau dengan suasana putih bersih dengan kepala botakumu karena semua rambutmu telah kau pangkas habis tanpa sisa. Sebagai tanda sekaligus ciri khasmu, jika kau sedang mendapatkan rezeki berupa sebuah proyek bangunan yang boleh dikata lumayan besar.
            Dan aku juga selalu merindukan baju baru yang selalu kau belikan untukku dan aku selalu tidak menyukainya. Hahahah J karena memang kau cenderung mengikuti trend pasar, sedang aku yang hanya ingin tampil eksis dengan style ku sendiri. Dan pada akhirnya pakaian itu akan berakhir di tangan saudaraku atau mugnkin tetanggaku, dengan aliby sebagai sebuah pemberian dariku.
          Entah dimana keberadaanmu saat ini, sedang apa, dan bagaimana keadaanmu selama ini. Sudah kah kau makan ?? Dan Nyenyak kah suasana tidurmu di sana ?? Karena memang kau tak pernah memberikan aku kabar barang sedikit pun.
          Dan masih kah kau mengingatku ?? Ah dasar payah dasar lemah, pertanyaan bodoh. Retoris yang tidak berguna. Tentu saja ingat, dan akan selalu begitu. Bagaimana mungkin seorang ayah akan lupa kepada darah dagingnya sendiri ?? tidak akan mungkin Sofia. Bekas suami, bekas istri, dan bekas pacar mungkin ada. Tapi bekas pacar tidak akan pernah bisa menjadi satu kata yang baku. Kenapa ?? Karena ikatan antara hubungan ayah dan anak tidak mengenal istilah dari kata ‘Bekas’
          Buang jauh-jauh kata itu, mengotori samudra cinta dan mencemari lautan kasih sayang saja. Kalau perlu, bakar saja kata ‘Bekas’ itu. Agar dia tidak dapat kembali lagi ke dunia ini. Setelah itu, larung abunya ke sungai. Agar butiran debu sisa-sisa pembakaran itu terbawa oleh angin. Pergi menjauh sejauh-jauhnya.
          Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah Rindu kah kau kepadaku, Ayah ?? karena ingat saja masih belum cukup bagiku untuk menguji rasamu. Tanpa bermaksud untuk meragukan semua itu, aku hanya ingin tahu seberapa besar rasa itu. Tulus darimu…
Dan jika memang kau merindukan ku, kau pasti akan menambah upaya guna bertemu denganku. Tapi hingga detik ini saja, aku tidak pernah mendengarkan kabar tentangmu. Bahkan engkau pun sepertinya enggan mencariku untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana kabarku saat ini. Huuuft T_T
          Jika kau balikkan pertanyaan itu kepadaku, sudah barang tentu aku merindukamu, sangat. Usahaku dalam menemukanmu, mencari-cari kabar ke sana ke sini selalu nihil. Nol besar yang aku terima. Selalu saja berita simpang siur tantang dirimu, yang menghancurkan gambaran reputasimu selama ini. Tapi aku tidak lah peduli, karena itu adalah hubungan horizontalmu dengan mereka. Yang jelas aku sangat merindukanmu. Entah dengan apa aku akan meluapkan rasa ini, hanya dengan foto-foto yang ku punya, ku pandang lekat-lekat matamu, dan ku doakan kau slepas sujudku kepadaNya.
          Curahan isi hati seorang anak yang merindukan sesosok ayahnya hanya mampu terlimpahkan melalui cucuran peluh yang menetes setiap kali mengingatmu.
Oh iyah, Ayah. Selepas kau pergi banyak sekali kabar gembira yang kau lewatkan. Pertama, aku telah diterima di sebuah sekolah ternama yang ada di Kota Malang. Ya SMK Negeri 4 Malang. Sekolah yang selama ini aku idam-idamkan, Ayah. Dan MultiMedia adalah dunia baruku yang harus aku segluti saat ini. Terjun ke ranah Design dan kejurnalisan seperti apa yang aku cita-citakan selama ini. Ayah, impianku sudah semakin dekat. Gerbangnya telah terbuka, Ayah. Sangat lebar, aku hanya tinggal menapakinya satu per satu.
Di samping itu, aku juga keluar dari zona nyamanku selama ini. Aku mencoba bidang Debat Bahasa Inggris sebagai lebaran sayapnya. Dan pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tangan dingin seorang pelatihku membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Beberapa kompetisi telah berhasil aku juarai. Awal yang baik dari sebuah permulaan yang akan menuju tengahnya.
Ayah, nilai raportku juga cukup bagus. Boleh dibilang lumayanlah. Hingga Alhamdulillah sekali, aku berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan internal dari pihgak sekolah. Sehingga ibu sudah tidak perlu pusing-pusing lagi dalam memikirkan biaya pendidikan. Uang itu akan dialokasikan ke kebutuhan yang lebih penting.
Guru-guru pun cukup mengagumi sikapku, semangat belajar yang tinggi katanya yang membuatku berbeda pada umunya. Cukup tahu, Ayah. Bahwa keadaan inilah yang mampu menghiburku di kala kerinduan ku ini padamu. Aku menjadi merasa tak sendiri, karena aku berada dalam pelukan rekan-rekan sejawatku. Seperjuangan…
Maka untuk menyempurnakan segala pencapaianku ini, lengkapilah dengan restumu. Doakan selalu anakmu agar dapat memperoleh hasil yang terbaik dari setiap apa yang ia lakukan. Sehingga aku mampu membanggakanmu dengan mengangkat namamu tinggi.
Duhai, Ayahku. Aku berharap kau tidak akan naik darah mengetahui hal yang satu ini. Seperti remaja dapa umunya, aku juga merasakan cinta terhadap mereka, Kaum Adam. Dan lucunya, aku mulai menikmati ini semua.
Aku mulai mengenal pria selain dirimu. Mengagumi mereka dari kacamataku. Orangnya baik, Ayah. Dia sangat mengerti aku, dan aku begitu menyukainya. Dan yang jelas dia melindungiku sama sepertia kau melindungiku dulu. Kami sering bertemu di sekolah jika kita sama-sama mempunyai waktu luang. Kami juga biasanya berjalan-jalan keluar bersama seperti pasangan muda-mudi pada umunya. Makan bersama, saling mentraktir, hingga berfoto gila bersama. Waks J hahah.
Rasanya aneh, Ayah. Kenapa sebentar-sebentar selalu aku menginagtnya ?? sedikit-sedikit harus dia ?? dan semua-semua serba dia. Terkadang aku pun turut sebal sendiri dibuatnya. Namun tak jarang aku jua sering sanyam-senyum sendiri di kamar saat belajar atau mungkin sering memimpikan lelaki itu. Dan aku berharap pada suatu hari nanti kau bisa bertemu dengannya, Ayah…

Ayah, percayalah. Aku pasti bisa menjaga diriku sendiri. Meski kau kini jauh di sana, kau tak perlu khawatir akan diriku. Aku akan selalu menjaga nilai kehormatanku di depannya. Tentu akan selalu berpegang teguh kepada nilai norma yang telah kau ajarkan sama seperti dahulu. Karena aku tahu, bahwa dia masih lah belum halal untukku.
Dan menginjak usia dewasa, aku juga mulai mengerti berhias diri. Memahami bagaimana cara berdandan. Ibu, adalah sesosok idola nomor satu mengenai hal ini. Bagaimana dia biasanya mengenakan bedak, celak, lipstik, semua aku tiru dari cara ibu. Sederhana, natural, namun masih tampak cantik dalam balutan hijab yang kekinian. Polesn kosmetik itu semakin membuatku percaya diri di hadapan banyak orang.
Begitu pula dengan pilihan pakaian yang kumiliki. Aku tidak lagi menutup diri terhadap trend baju yang sedang booming. Sedikit demi sedikit aku pun membuka pintu mode baru, tapi masih tetap mengacu kepada kepribadianku sebagai karakternya. Maka, jika kau nantinya akan berjumpa denganku. Kau akan menemukan seorang Sofia yang berbeda. Tidak ada lagi si Ari kecil, si manja tukang pembuat repot orang tua. Yang ada tinggal Sofia yang mulai tumbuh dewasa dengan kemabndiriannya.
Ayah, datanglah. Aku selalu merindu keberadaanmu di sini. Hanya melalui surat ini aku mampu berujar dalam kata, kepadamu Ayahku dan akan selalu begitu.
Ayah, aku mohon terimalah ulasan rindu ini untukmu. Aku berharap kau membacanya, dan segera datang kemari untuk menemuiku. Menjadi pengobat rindu, putri kecilmu ini.


          Didedikasikan untuk Ayahku,
          Dari bidadari mungilmu yang akan selalu mengharapkan kepulanganmu...

Oleh : SAM98 (MALANG, Jumat 17 Juli 2015 17:18:00)

1 komentar: